Semburat Jingga di Penghujung Hari

rofenaa
16 min readFeb 22, 2022

--

Langit telah selesai menumpahkan tangisnya. Ia basahi hamparan tanah ladang yang mulai mengering akibat kemarau panjang. Syukur, dari pagi hingga sore tadi, Tuhan turunkan rezeki-Nya pada para petani yang mulai kebingungan dua bulan ini. Ucapan terima kasih dan rasa syukur pun dilantunkan secara berkesinambungan oleh warga sekitar. Termasuk bagi lelaki dewasa yang bertanggungjawab atas puluhan hektar kebun apel peninggalan sang Oma.

Dua benda persegi bernama jendela itu ia biarkan terbuka lebar. Menikmati udara sejuk setelah hujan jatuh adalah suatu kecanduan tersendiri bagi seorang pemilik nama Putra Fajar Prajana. Pejaman matanya masih bertahan sejak ratusan detik yang lalu. Fokusnya pun masih berada pada satu titik ketenangan. Pula hatinya yang merasa tentram saat mendengar suara jangkrik dan kodok mulai bersahutan. Saling berbicara, berbagi sapa, dan bercerita dengan bahasa yang tentu tak akan pernah dipahami oleh Fajar. Biarkan suara mereka menjadi suatu nyanyian alam saja bagi dirinya. Jangan lebih.

“Jar, makan dulu.” Rungunya menangkap suara nan lembut tersebut ikut menyapa gendang telinga. Menyuruhnya makan masakan yang telah gadis itu persiapkan untuk orang seisi rumah.

“Iya,” jawabnya sembari membuka mata. Namun saat berbalik, tubuh gadis yang sudah bersamanya sejak berada dalam rahim sang Bunda itu telah menghilang di balik pintu kamar. Melesat kembali ke arah ruang makan demi mempersiapkan hidangan malam yang belum sepenuhnya selesai.

Fajar menghela napasnya berat. Mungkin akan terasa lebih berat lagi bagi seorang Putri Senja Prajana. Kembarannya itu harus melalui hari yang begitu teramat kejam. Sakit dan letih adalah ungkapan paling tepat untuk dirinya yang dipaksa kuat oleh keadaan.

“Libur semesternya berapa lama, Nak?” Pria tua nan lumpuh itu bertanya pada si kembar. Mereka semua telah usai menghabiskan makanan di piringnya masing-masing.

“Tiga minggu, Yah.” Setelah tegukkan air putih itu lolos di kerongkongannya, Senja menjawab demikian. Ia baru saja selesai makan setelah harus menyuapi sang Ayah terlebih dahulu. Sebab, sejak tiga tahun yang lalu, pria berjasa tersebut hanya memiliki satu tangan saja. Satunya lagi telah raib dimakan oleh ganasnya reruntuhan bangunan akibat gempa berpotensi tsunami. Kala itu, Ayah dan Bunda tengah melakukan perjalanan bisnis ke luar daerah. Namun sayang, malang malah datang meluluh lantakkan hampir seluruh bagian kota di sana.

Ayah mengangguk paham. “Kamu juga sama, Jar?” tanya Ayah lagi. Namun kali ini terkhusus untuk sang sulung.

“Sama kok, Yah. Tiga minggu juga,” jawab Fajar yang telah selesai menyeka mulutnya dengan tisu. Ia dan Senja memang berada di kampus yang sama. Namun berbeda fakultas saja. Mereka juga sudah menjadi mahasiswa tingkat tiga tahun ini. Yang berarti, jika rajin dan lancar berkuliah, tahun depan mereka akan segera menjadi sarjana.

Kini, dapat Fajar lihat, bahwa tatapan Ayah mengarah pada sosok yang hadirnya masih dianggap semu oleh seorang Senja, Mino Prabuartha. Dia adalah pria yang ditunangkan dengan saudarinya saat kelas dua belas dulu. Terlalu dini, memang. Tapi demi memenuhi permintaan terakhir Bundanya, mau tak mau, dua insan itu berakhir dalam ikatan tanpa cinta.

“Gimana sama Senja? Di sana gak sering berantem, kan?” Ayah tahu, bahwa dua anak itu masih belum memiliki perkembangan dalam hubungannya. Berkuliah dan jauh dari orang tua tak membuat Ayah kehilangan informasi tentang anak-anaknya. Ayah juga tahu, bahwa selama hampir tiga tahun pertunangan ini berjalan, cinta bahkan tampaknya memang masih enggan untuk tumbuh di antara mereka. Ah, mungkin pada diri Senja saja. Sebab Mino Prabuartha, dia sudah jatuh pada pesona gadis itu sejak lama.

Mino membalas dengan senyum semanis gulali. Wajahnya nan tampan semakin terlihat rupawan. Sementara raut Senja sudah berubah masam dan kecut bak jeruk nipis. Ia tak suka saat Ayah selalu saja membahas hubungan mereka. Jangankan itu, melihat wajah Mino saja rasanya Senja malas sekali. Entah kenapa pula lelaki itu diminta menginap di rumahnya sejak malam kemarin oleh sang Ayah.

“Gak terlalu sering kok, Om.” Mino bukan tipe lelaki pembohong. Ia menyampaikan hal yang memang sebenarnya terjadi. Sebab tiga sampai empat kali, dia memang selalu didebat oleh Senja perihal cerita lama.

Ayah membalas dengan senyum dan anggukan. Kesabaran dan keikhlasan Mino terhadap Senja memang patut untuk diacungi jempol dan diberi penghargaan. Bila perlu, ia ingin memberikan piala besar berlapis emas dan berhias berlian untuk lelaki baik itu.

“Aku duluan ke kamar.”

Kalimat itulah yang selalu membuat Fajar menaruh kesal pada adiknya tersebut. Senja seolah tak diajarkan sopan santun dan tata krama saja oleh keluarganya. Terkadang, ia juga merasa malu pada Mino yang memiliki akhlak begitu mulia.

Papa, Hendri, dan Ojun hanya bisa menyaksikan satu-satunya kaum hawa itu berdiri dan lekas meninggalkan perkumpulan di ruang makan. Papa sendiri merupakan panggilan akrab mereka pada adik kandung Ayah. Dia adalah bapak dari Hendri dan Ojun sendiri. Kakak beradik itu sama-sama telah menjadi duda. Namun Papa sudah terlebih dahulu kehilangan sang pendamping daripada Ayah. Hendri dan Ojun sepupunya itu telah menjadi piatu sejak lama. Mereka adalah senior Fajar dan Senja dalam perihal tak punya ibu.

“Mau kemana?” tanya Fajar saat mendapati Senja tengah sibuk menggunakan cardigan-nya.

Tak ada jawaban. Gadis itu malah meraih gawai, dompet, dan kunci mobil yang terletak di atas meja tanpa menghiraukan eksistensi Fajar.

“Nja!” Tangan Fajar pun melingkar di pergelangan Senja.

“Apa sih?” tanya gadis itu tak suka. Ia lepas cekalan Fajar dari lengannya.

“Senja, lo gak bisa terus-terusan memperlakukan anak orang kayak gitu.”

Kan, benar dugaannya. Fajar akan berbicara demikian. Lagi dan lagi, lelaki itu selalu saja menjadi penasihat terhadap hubungannya dengan Mino.

Stop, Nja. Lupain Bintang, dan tolong pandang Mino sebagai laki-laki yang patut untuk dihargai.”

Senja tertawa sinis. Rautnya kemudian mengeras menahan amarah. “Bintang?” tanyanya dengan raut tak percaya. “Jadi selama ini lo kira gue hampir tiap malam nangis itu karena Bintang?” Masih ada sirat rasa tak percaya dalam nada suaranya. Manusia yang sudah bersama dengan Senja sejak menjadi cikal bakal penerus bangsa itu ternyata benar-benar tidak memahami kesedihannya. Fajar bahkan tak tahu pasti siapa yang Senja tangisi di setiap dini hari.

“Terus siapa kalau bukan cowok brengsek itu?” tanya Fajar masih menghalangi langkah Senja untuk keluar kamar.

“Cowok brengsek itu sahabat lo, kalau lo lupa.” Telak. Senja menyerangnya dengan pernyataan yang tak dapat dipatahkan. Rasi Bintang Jenggala, dia memang sahabat baik Fajar saat remaja. Namun sejak tragedi tak berhati nurani, Fajar putuskan hubungan pertemanannya dengan Bintang. Ia musuhi lelaki itu sebab hampir menodai kegadisan sang adik. Kala itu, baku hantam tak dapat dihindari. Bintang bahkan hampir mati saat dipukuli.

“Mino!” Senja tiba-tiba memanggil lelaki itu saat melewati pintu kamarnya yang terbuka. Ah, Mino itu memang sebetulnya penyelamat Senja disaat seperti ini.

Langkah lelaki tersebut pun berhenti. Baju kaus berwarna hijau botol dengan celana training hitam biasa pun menjadi outfit Mino untuk tidur di rumah calon mertuanya ini. “Iya, kenapa?” jawab Mino sedikit bingung.

“Temenin gue ke luar dong.”

Fajar tahu. Tujuan Senja mengajak Mino adalah agar dirinya diizinkan oleh Ayah dan Papa untuk keluar malam. Kemana pun itu, asal bersama Fajar atau Mino, Senja akan diizinkan. Sebab dua lelaki itu bukan tipe pria yang suka bermacam-macam. Mereka tahu betul mana yang baik dan mana yang buruk. Tak akan pernah ia biarkan gadis itu menginjakkan kaki di tempat keramaian yang penuh dengan kebisingan dan hawa nafsu. Kelab malam. Apalagi kalau bukan tempat tesebut? Terlebih sampai mabuk-mabukan. Bisa dilibas habis-habisan anak pebisnis kaya raya itu.

“Hati-hati!” ucap Ayah saat Senja dan Mino pamit untuk pergi. Orang seisi rumah bahkan kini tengah saling berbagi pandang. Tumben sekali gadis itu menggandeng Mino di hadapan mereka semua. Terlebih, wajahnya terlihat sumringah. Jantung Mino saja sampai dibuat tak karuan karenanya.

Namun, hal itu tentu tak akan berlangsung lama. Kebahagiaan Mino memang hanya sementara. Sebab Senja, dia telah berubah seperti biasa.

Saat sudah memasuki mobil, rautnya kembali menjadi datar dan dingin. Atmosfer pada mereka berdua kembali mencekam layaknya musuh dalam ring. Hening. Tak ada percakapan yang terlontar baik dari Mino maupun Senja sendiri.

“Belok kiri.” Lima menit setelah keluar dari lingkungan perkebunan milik keluarga Prajana yang terbentang luas, akhirnya Senja membuka suara sebab harus memberitahu arah tempat tujuan mereka.

Mino menoleh heran. “Arah pasar ‘kan ke kanan. Bukannya tadi kamu bilang mau ke toko buku ya?” tanyanya memastikan.

“Kapan?”

“Tadi, waktu kamu izin ke Ayah sama Papa.”

Senja berdecak. “Gak usah sok gak paham. Lo pasti tau gue maunya kemana,” jawab gadis dengan cardigan berwarna hijau pastel tersebut.

Helaan napas itu terdengar dari Mino. “Senja, jangan dibiasain bohong, ya? Apalagi sama orang tua.” Lelaki itu memperingati sang kekasih hati.

“Berisik lo!” balas Senja menohok. Ia memang tak pernah mau mendengarkan perkataan Mino. Tapi bodohnya, Mino selalu saja bertahan atas setiap perlakuan Senja terhadapnya. ‘Cinta itu buta’ memang benar, ya, adanya? Fajar bahkan sampai bingung dibuatnya. Dari apa hati Mino itu diciptakan? Ia yang ditakdirkan untuk jadi kembaran Senja saja sering meledak jika berhadapan dengan gadis egois tersebut. Bagaimana bisa Mino malah tetap memilih untuk bertahan? Aneh sekali lelaki itu.

Mau tak mau, akhirnya Mino tetap memutar stirnya sesuai permintaan Senja. Ia arahkan kendaraan roda empat ini ke tempat tujuan favorit gadis itu. Sementara yang minta ditemani tadi, kini tengah sibuk menggulir gawai yang berada dalam genggaman. Notifikasi yang masuk tak pernah berhenti. Gawainya tak pernah sepi. Seorang selebgram kelas menengah ke atas seperti Senja memang termasuk ke dalam jajaran gadis paling digemari oleh para lelaki. Bahkan sejak gadis itu masih menduduki bangku sekolah.

“Pinjem tangan lo.” Saat tadi hanya desingan kendaraan yang terdengar, kini inderanya menangkap orang paling spesial itu bersuara. Mino pun gelagapan saat Senja menadahkan tangannya.

“Sini!” Rautnya tetap tidak berubah. Kesan datar dan dingin masih melekat di wajah nan jelita tersebut.

Tangan kiri Mino kini sudah berada dalam genggaman tangan kanan Senja yang kecil. Jantung pria itu seolah mendadak lepas hingga jatuh ke lambung. Ia kaget bukan main saat telapak tangannya menyatu dengan telapak tangan gadis itu.

Namun, lagi dan lagi, Mino yang sudah terbang terlalu tinggi harus kembali dihempaskan oleh kenyataan pahit. Harapannya bahkan kembali dibenamkan melebihi dalamnya Palung Mariana. Sakit, saat tangannya hanya digunakan untuk dijadikan bahan penghalau semata. Tapi tidak apa-apa. Setidaknya, genggaman mereka menjadi pembuktian bahwa Senja telah mengizinkan bagian dari tubuh Mino untuk menghuni gawai gadis itu. Memotret, berarti sama dengan kenangan. Dijadikan insta story, berarti Senja mengakui bahwa dirinya sudah memliki pria yang dianggap sejati. Meski nyatanya kehadiran Mino hanyalah sebuah bayang-bayang yang entah kapan akan menjadi wujud.

Tautan pun terlepas. “Dingin banget tangan lo.” Nada suaranya terdengar seperti bertanya. Namun setengahnya lagi tersirat sebuah ledekan. Senja tahu, lelaki itu pasti tengah grogi karena dirinya.

“Maaf.” Mino pun meletakkan tangan kirinya kembali pada stir mobil. Lalu tak beberapa lama kembali lagi ke bawah untuk mengoper gigi.

Hening kembali menemani. Namun atensi Senja kini masih saja mengarah pada cincin yang setia melingkar di jari manis tangan kiri milik Mino. Itu pula lah yang menjadi alasannya untuk memotret tangan lelaki itu tadi. Cincin mereka sama. Ia hanya ingin memberi tahu orang di dunia maya bahwa dirinya telah berpunya. Senja tak suka digandrungi benyak lelaki. Ia juga tak suka ditanyai apa sudah punya tambatan hati atau masih sedang mencari. Dan tangan Mino adalah jawaban alternatif paling tak merepotkan dirinya ini.

Namun, setelah dipikir-pikir lagi, seingatnya lelaki itu bahkan tak pernah terlihat melepas benda yang menjadi penanda bahwa mereka adalah sepasang kekasih sejak hari pertunangan terjadi. Mino selalu terlihat bangga dan percaya diri dengan cincin yang melingkar di jari.

Senja melirik tangan kirinya. Kosong. Hanya nail art di kuku yang terlihat menghiasi. Tak ada cincin yang sama seperti milik Mino. Ia memang tak suka dengan benda itu. Paling, Senja memakainya hanya saat ke kampus saja. Apalagi, kalau bukan karena menghindari godaan para lelaki yang ingin mendekati.

“Udah sampai.” Mino memberitahu bahwa mereka telah sampai di tempat tujuan.

“Lo tunggu di sini.” Senja pun keluar dengan tergesa. Kemudian ia tutup pintu mobil dengan cara sedikit dibanting. Membuat suara Mino yang berbicara menjadi tenggelam.

Punggung kokoh itu bersandar pada sandaran kursi. Ia tulikan pendengarannya terhadap suara pagar yang tak lagi asing untuk didengar. Gadis itu lah pelakunya. Ia datang ke kediaman yang penghuninya telah pergi sejak lama.

Besok hari peringatannya. Peringatan jalinan hubungan, dan peringatan kepergian.

Namanya Langit Ghiffari. Lelaki yang harus pergi disaat hari pertunangan Senja dan Mino kala itu. Yang membuat gadis itu selalu menggunakan baju hitam disaat Mino memintanya memakai warna putih

Ya, siapa lagi, kalau bukan Langit pula lah yang membuat Senja menangis hampir di setiap dini hari akhir-akhir ini. Bukan. Memang bukan Rasi Bintang Jenggala yang membuat Senja menumpahkan air mata. Seperti apa yang Fajar kira selama ini. Melainkan sebab Langit lah air mata Senja selalu jatuh. Ingatannya seolah ditarik kembali pada kenangan lama disaat mereka masih bersama. Langit memang bukan kekasih Senja. Tapi hadirnya melebihi seorang Bintang yang kala itu menduduki posisi tersebut.

Buaya wanita? Bukan. Senja hanya seorang gadis yang terlambat menyadari cintanya terhadap sosok Langit. Sayangnya, kesadaran itu malah datang setelah pria itu telah pergi tanpa ada kata pamit.

Senja ingat sekali. Dini hari itu, kabar paling menyakitkan setelah kepergian Bunda adalah kematian seorang pria bernama Langit Ghiffari. Pria yang bahkan dengan tega meninggalkannya saat beberapa jam sebelum kepergian itu pernah berkata, “Nja, lo cantik kalau pakai baju warna hitam.”

Embun pun tahu, bagaimana lolongan kesedihan saat itu menguar memenuhi seisi rumah. Tangisan Senja begitu keras. Teman paling berharganya pergi tanpa aba-aba. Sakitnya, ternyata dia adalah teman lelaki yang Senja cinta.

Kematian memang tak ada yang tahu. Tapi kecelakaan saat menuju lokasi pertunangannya dengan Mino membuat Senja tak berhenti untuk membenci dirinya sendiri. Ia terkurung dalam luka dan penyesalan yang jelas-jelas bukan salahnya. Apalagi salah Mino. Tapi tetap saja, Senja berasumsi bahwa kematian Langit disebabkan oleh mereka. Entah alasannya apa. Hanya saja, Senja lebih nyaman merasa demikian.

Dukh!

Bangku di sampingnya terisi. Senja sudah kembali dari dalam rumah minimalis peninggalan Langit yang diwariskan untuk dirinya. Kunci rumah pria itu, Senja yang pegang.

“Udah?” tanya Mino sembari mengerjapkan matanya untuk beberapa kali. Dirinya bingung. Apa benar ini Senja yang tadi bersamanya?

“Kenapa?” Senja yang risih diamati oleh Mino pun bertanya jutek.

“Kamu mau kemana?” Mino pandangi perca yang membalut tubuh Senja. Jelas, potongan perca yang ini beda dengan yang tadi Senja gunakan. Dress berwarna putih dengan rambut sedikit bergelombang itu merubah kesan dinginnya menjadi sedikit anggun. Bibir ranum itu bahkan terlihat semakin merah jambu dan segar sebab dipolesi lipbalm oleh gadis tersebut.

“Kita dinner.”

“Hah?”

Dinner. Lo budek?” kesal Senja. Ia tak suka mengulang perkataannya.

Sementara Mino, lelaki itu masih mencoba untuk menyadarkan dirinya. Kalau ini mimpi, tolong segera bangunkan dia. Mino tak mau berlama-lama dalam bunga tidur yang akan semakin membuat harapannya kian membesar tanpa arah.

Tuk!

Sentilan di dahi Mino membuat pria itu tersadar, bahwa ini bukanlah sekedar bunga tidur. Ini nyata! Semesta, tolong beri pertanda bahwa Senja-nya tengah mencoba.

“Ayo, jalan. Malah bengong lagi lo!” Dengan gugup dan berdegup, Mino lajukan mobilnya secara perlahan.

Sepanjang perjalanan, berbagai macam asumsi pun tumbuh dalam benak Mino. Apakah ini alasan Senja menyuruhnya tadi berganti baju semi formal terlebih dahulu? Tapi, dari mana senja mendapatkan dress tersebut? Apakah ia sudah mempersiapkan dinner ini sejak lama? Kenapa pula harus mampir ke rumah almarhum Langit terlebih dahulu? Apa Senja malu kalau nanti menjadi bahan ledekan oleh saudaranya itu? Ah, Tuhan, tolong jangan buat Mino bingung. Tapi untuk bertanya pada Senja, ia juga tak sanggup.

“Nja?” Karena kepalang mengganjal, akhirnya Mino pun memberanikan diri untuk membuka suara.

Gadis itu menoleh. Rautnya masih seperti biasa. Datar. “Apa?”

“Kita ‘kan udah makan. Masa dinner lagi?”

“Gue tau lo cuma makan sayurnya aja.”

Ingatan Senja kembali pada masakannya di rumah. Sebenarnya, ia tahu bahwa Mino tidak bisa makan udang dan cumi. Dulu, Dokter Artha, ayahnya Mino itu pernah memberitahu Senja. Maka dari itu, ia sengaja memasak menu tumis udang dan cumi goreng krispi untuk orang di rumah.

Pada galaksi dan seluruh isinya, tolong katakan pada Mino untuk berhenti berbunga-bunga. Jantungnya semakin berdebar tidak karuan. Pula telinganya yang memerah akibat salah tingkah. Sungguhkah Senja tadi memperhatikannya?

Sepuluh menit telah berlalu dengan kecamuk pertanyaan yang kembali menyerang otak Mino. Namun, tak ada satupun yang dapat lelaki itu ajukan pada sang pemilik raga nan jelita. Yang Mino lakukan hanya menuruti arahan Senja selaku navigator mereka malam ini.

“Kenapa sih?!” Senja kembali dibuat kesal saat Mino menatapnya seolah tak berkedip.

“Indah,” jawabnya.

Senja langsung membulatkan bibir. “Oh, bagus deh kalau lo suka design-nya.” ujar Senja sembari memutari pandangannya pada sekeliling restoran paling romantis di kampung halaman Ayahnya ini. Jadi, tak sia-sia Senja membayar mahal untuk reservasi sejak dua hari yang lalu.

Mino tersenyum. Bulu mata lentik milik pria itu pun ikut berkedip pelan. “Kamu. Kamu yang indah.”

Senja terdiam cukup lama. “Makasih,” jawabnya. Namun Mino menggeleng. “Harusnya aku yang berterimakasih,” ujar pria itu demikian. “Terima kasih karena sudah selalu berusaha untuk bangkit.”

Senja hanya diam mendengarkan. Tapi perlahan dirinya merasa aneh. Kenapa jantungnya tiba-tiba memompa semakin cepat seperti ini? Tenang yang terpampang pada raut Mino seolah membuatnya hanyut dalam debaran.

“Senja, maaf kalau kehadiranku membuat jalan hidupmu jadi berbeda. Maaf pula kalau eksistensiku membuat bebanmu terasa lebih berat. Tapi aku memang egois. Mau sesakit apapun hatiku, aku nggak bisa melepaskanmu begitu saja. Maaf.”

Pembicaraan berjalan serius. Suhu ruangan yang hangat tak lagi membuat mereka kedinginan. Sebab, udara malam yang lembab tak lagi sekentara saat mereka berada di luar.

“Harusnya kalimat itu lo ucapin buat diri lo sendiri.” Senja memang bukan perempuan yang romantis. Dan dia tak tahu harus bagaimana menanggapi Mino dengan benar.

Tapi sesungguhnya, jauh di dalam diri Senja, dia lah yang patut meminta maaf dan berterimakasih banyak pada sosok berjasa tersebut. Dia ingat sekali, dari cerita Ayah kala menjadi korban gempa berpotensi tsunami tersebut, Mino adalah relawan yang pertama kali menemukan raga sang Bunda yang tertimpa reruntuhan bangunan. Mino pula lah yang telah menyelamatkan Senja dari bejatnya seorang Bintang. Lelaki itu datang tepat waktu. Mino juga adalah sosok yang dengan rela memberikan peluknya saat Senja dihantam oleh kabar duka. Dada dan bahunya selalu siap sedia kapan pun Senja membutuhkan rengkuhannya.

Entah bagaimana pula, dinner yang direncanakan Senja itu tampaknya mulai berjalan romantis. Iringan musik klasik pun menambah kesan intim pada keduanya. Kini mereka telah berdiri. Berdansa di atas lantai marmer nan indah sembari saling berbagi tatap. Tangan gadis itu tentu sudah melingkar pada batang leher sang lelaki.

“Wanna try?” bisik Senja di telinga Mino. Gerakan dansa mereka nan kaku itu pun terhenti. Mino langsung memberi jarak setengah meter dari Senja.

Dia laki-laki, dan dia tentu tahu arah pembicaraan gadis itu. “Lo mikir apaan?” tanya Senja menyusul Mino untuk kembali duduk.

“Nggak ada.” Mino menyahut singkat.

“Nih orang pasti mikirnya gue mau macem-macem,” batin Senja tajam.

“Lo gak usah kejauhan mikirnya. Gue cuma mau ngajak lo buat nyoba lupain semua perasaan lo ke gue.”

Mino tidak salah dengar, ‘kan? Orang yang mempersiapkan dinner romantis satu hari lebih cepat dari anniversary mereka malah berkata demikian? Setelah diterbangkan ke langit tinggi, apa kini Mino kembali dibenamkan hingga inti bumi?

“Cari perempuan lain yang sekiranya bisa lebih menghargai lo. Sebelum kita terlalu jauh, dan sebelum hati lo terlanjur jatuh, mending kita selesaikan semuanya hari ini. Gue tau kalau gue emang nggak tau diri. Tapi sejak awal, harusnya lo tolak permintaan terakhir Bunda gue ke lo. Biar apa? Biar gak ada yang tersakiti di antara kita.”

Kalimat paling panjang dari Senja padanya adalah kalimat yang paling menyayat hati Mino pula. Pedihnya melebihi disayat sembilu. Rungunya mendadak pengang. Rabanya pun terasa kebas. Pula pandangannya yang terasa mulai mengabur. Sebab ada genangan tak diundang yang datang menghuni pelupuk mata. Mengapa Senja begitu tega?

“Besok hari peringatan kepergian Langit yang ketiga tahun. Dan yang gue mau, kita selesai sebelum hari itu.”

Apa Senja mendadak lupa? Kalau besok juga adalah hari peringatan pertunangan mereka yang ketiga tahun?

“Tapi .... kenapa?”

Hanya Tuhan yang tahu. Bahwa keduanya tengah tersayat-sayat. Sakitnya pun tengah bertubi-tubi menghantam relung terdalam. Ada rasa tak tega saat Senja menatap mata bening Mino yang bergetar. Dan ada rasa kecewa saat Mino menangkap obsidian coklat milik Senja yang menatapnya sendu dan penuh rasa bersalah.

“Kita pulang.” Mino berdiri, lalu menarik lembut pergelangan si gadis berbaju putih tersebut. Namun pergerakan itu terhenti saat Senja menahannya dengan sekuat tenaga.

“Enggak. Kita pulang saat hubungan ini resmi diselesaikan!” ujar Senja mempertegas.

“Kamu mau selesai, ‘kan?” tanya Mino memastikan kembali. Gadis itu tentu menganggukkan kepalanya pasti.

“Tapi nggak di sini. Kita bicarakan di rumah dengan Ayah kamu, Bapakku, dan Fajar. Mereka berhak tau keputusanmu ini, Senja. Aku gak mau mengambil keputusan penting ini sendirian.”

“Jangan!” Senja menahan Mino dengan kedua tangannya. “Ayah jangan sampai tau. Seenggaknya buat hari ini dan besok.” Tatapan gadis itu terlihat putus asa. “Gue mohon,” pintanya menggenggam kedua tangan milik Mino yang kembali mendingin.

“Senja,” lirihan Mino terdengar serak. Atensi mereka yang sedari tadi beradu, pun, kian terlihat sendu. “Kamu adalah sebuah ketidakmengertian yang selalu aku coba untuk pelajari.” Gadis itu masih diam mendengarkan. “Dan kamu adalah penguasa hati yang nggak mungkin untuk aku lepaskan.”

“Maaf,” tutupnya kemudian. Mata Senja pun membulat saat Mino malah menarik tubuhnya untuk masuk ke dalam dekapan. Rengkuh hangat milik lelaki itu kini menguasai tubuh kurus Senja.

Tak ada balasan. Tangan Senja masih menggantung tanpa balik merengkuh raga nan rapuh.

“Kalau hatimu masih dikuasai cerita lama, nggak apa-apa. Aku bisa paham dan mengerti. Tapi tolong, jangan minta aku untuk menyelesaikan kisah kita yang masih rumpang.”

Isakan itu perlahan terdengar menyayat hati. “Jangan nangis, Senja. Jangan buang air matamu hanya untuk kisah kita yang belum pernah menyecap manisnya saling mencinta.”

Semesta, rungu Senja bahkan tak lagi sanggup mendengar syair kesedihan dan lantunan keputusasaan dari belah bibir milik Mino. Jujur, jantungnya seolah diremat. Hatinya terasa sakit yang teramat.

“Senja, kalau boleh aku bicara jujur, kamu adalah semburat jingga di penghujung hari yang selalu kunanti.” Tangis gadis itu kian menjadi. Sesaknya pun tak ada yang dapat mengerti selain dirinya sendiri.

Namun sayang. Jika Mino menanggapnya demikian, lalu mengapa yang selama ini Senja lihat hanya kelabu? Kehadiran Mino bahkan bagai hujan tanpa air, bagai malam tanpa gelap, bagai siang tanpa terang. Harinya abu-abu. Rindunya pada Bunda dan Langit yang menggebu-gebu.

“Udah, cukup.” Senja melapaskan pelukan Mino secara perlahan. Yang mau tak mau, pria itu harus rela memberikan ruang pada sang gadis.

Ia hapus air mata pada wajah dingin Senja dengan lembut. Sampai ibu jari Mino menyapu bibir nan lembab itu, Senja malah menatapnya dengan tatapan yang sulit dimengerti.

“Jangan.” Hangat dari napas keduanya saling menerpa masing-masing pipi. Kedua belah itu nyaris memagut ranum yang sama sekali belum pernah menjamah nikotin, maupun rekah dari gadis lain. “Cuma suamimu nanti yang berhak mendapatkannya,” lanjut Mino langsung memberi jarak. Senja baru saja hampir memberi kecupan hangat pada bibirnya yang dingin dan pucat.

“Maaf kalau aku terkesan melukai harga dirimu. Tapi yang aku minta, kamu jangan mau memberi pada siapapun selain ke suami kamu nanti, Senja. Semoga kamu mengerti maksudku.”

Senja terpaku. Mino memang lelaki yang harusnya ia pertahankan sampai hari tua. Tapi mengapa malah ia pinta untuk meninggalkan dirinya begitu saja?

“Sekarang kita pulang. Makasih untuk dinner dan dress putih yang kamu gunakan hari ini.” Mino mengelus pelan rambut Senja dengan penuh rasa sayang. Ia sangat berterimakasih, bahwa pada akhirnya Senja mau mewujudkan keinginan sejak lamanya tersebut.

“Besok kita ziarah sama-sama ke makam Langit. Jangan sendirian lagi, jangan merasa sepi lagi. Ada aku, Nja, di sini.”

Kepada meja dan kursi, kepada dinding dan lampu. Tolong sampaikan pada jagat raya, bahwa Senja menyesal telah menyakiti hati yang begitu mulia menghadapinya. Beri tahu pula pada semesta beserta isinya, Senja ingin belajar mencintai sosok Mino Prabuartha.

“Maafin gue, Mino. Maaf untuk semua sakit yang udah gue kasih buat lo.”

“Nggak apa-apa. Ini bukan salah kamu. Proses pendewasaan kita yang terlalu curam.”

Sungguh, pada hamparan gelap yang menggantung di atas sana, tolong sampaikan pada pria bernama Langit, bahwa mungkin posisinya akan segera tergantikan oleh orang yang bertahun-tahun telah bertahan di sisi Senja. Katakan pada jiwanya, bahwa Senja bahkan sudah sejak lama membagi hatinya pada sosok Mino Prabuartha.

Maaf, kalau kesannya dia tengah mendua. Tapi tolong jangan ambil Mino Prabuartha. Ya, semesta?

T A M A T

Semburat Jingga di Penghujung Hari

Karya Rofenaa

©ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet