Si Penguasa Jalanan

rofenaa
8 min readJan 27, 2022

--

Seperti biasa, bising di sore menjelang magrib itu masih dipenuhi dengan ramainya kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya.

Mentari yang segera pamit itu tak terlihat. Biasanya, bias jingga akan menggantung di angkasa raya. Namun kali ini tidak. Sebab mendung tengah menyapa seluruh kota.

Arsaka baru saja keluar dari studio musik. Tempat itu biasanya menjadi lokasi yang tepat untuk Jeriko melepas penat dikala bosan. Orangtua itulah yang acapkali mengajaknya untuk berada di sini. Selera musik Jeriko nyatanya memang bukan main-main pula. Pria yang berada di penghujung kepala tiga itu sangat pandai bermain alat musik. Terutama drum. Bahkan, dari yang Arsa dengar, ayah angkatnya itu adalah Drummer Terbaik di kota ini pada tahun kejayaannya. Mungkin di tahun 2000-an?

Arsa sih percaya-percaya saja. Sebab tanpa Jeriko menunjukkan bukti-bukti autentik sekalipun, bakat orangtua itu tak bisa diragukan lagi. Ia sudah melihatnya secara nyata. Ah, mungkin dulu Jeriko pasti menjadi rebutan para puan jelita di kotanya.

Arsaka, dia yang ditinggalkan oleh Jeriko setelah pertemuan itu, kini hendak berjalan menuju halte. Jeriko ada urusan mendadak katanya.

Niat Arsa, ia ingin singgah dulu sebentar ke Rumah Baca. Tempat dirinya mengabdi sebagai warga negara yang semoga berguna bagi masyarakat banyak. Namun, apa daya, atensinya malah tertarik saat melihat orang yang sangat ia kenali itu dikelilingi oleh tiga preman yang berpenampilan urakan. Ah, mungkin bukan preman. Melainkan anak punk yang jarang mandi dan sok berani.

“Cil, bagi duit!” Sayup-sayup, Arsa mendengar suara tersebut. Mereka tengah memalak pria berseragam sama dengan yang Arsaka pakai saat ini.

“Kalau mau duit mah kerja. Bukan minta-minta!” sahut si pria yang dipalak dengan tatapan sinisnya. Tampak sekali ia tidak menyukai hal ini. Ditambah lagi *mood*-nya sedang buruk akibat pesan-pesan tidak penting yang ada di ponselnya tersebut. Menyebalkan!

Arsaka hanya tersenyum tipis mendengarnya. Ia memilih berdiri di belakang salah satu tiang halte sembari menggulir layar di ponsel.

“Songong bener lu anjing. Gue gibeng juga nih bocah!” gertak si anak punk yang satunya lagi.

Aduh, apa mereka tidak takut memalak di kawasan yang ramai begini? Selain tak berpendidikan, tak berakhlak, dan tak berperikemanusiaan, manusia jarang mandi ini ternyata juga tak berakal. Dengan melihat saja, mungkin masyarakat akan berbondong-bondong menghakimi mereka jikalau si korban terluka.

Apalagi, yang diganggu itu adalah anak sekolah. Dari seragamnya saja, mereka dapat mengenali darimana siswa ini berasal.

Siswa Garuda Pancasila!

Isinya ya kebanyakan dipenuhi oleh orang pintar dan kaya raya saja.

Namun, tampaknya si tiga anak punk itu terlihat abai. Agaknya mereka menganggap bahwa orang-orang tak ada yang berani mencegah mereka. Lihat saja, saat Arsa menoleh ke belakang, tas milik Senan sudah ditarik cukup kasar.

Ya, dia Senan Dika, teman sekelas Arsaka yang baik dan cukup ramah. Walaupun aslinya suka marah-marah dan *mood* sering berubah-ubah, Senan itu cukup menyeramkan kalau menurut Arsa. Lihat saja bagaimana lelaki itu tak terima tasnya ditarik. Kepal tangan yang mungkin tak sebesar kepalan Arsa itu melayang begitu saja.

Senan memberikan perlawan.

Tubuhnya mungkin paling kecil di antara teman-teman, tapi tidak untuk kekuatannya. Tenaga dalam milik Senan cukup luar biasa. Saat tarik tambang dulu contohnya. Badan boleh kecil, tapi tenaga dan otak jangan pernah diremehkan!

“Oi!” sorakan itu akhirnya Arsa layangkan saat tas ransel milik Senan nyaris lepas karena ditarik paksa oleh tiga pemalak tersebut.

Mereka semua menoleh. “Sana-sana. Jangan gangguin temen saya!” tegur Arsa. Senan menatap cukup kaget. Kenapa pria ini bisa ada dimana-mana?

“Ape lu?! Mau kita habisin juga?!”

Arsa hanya tertawa pelan sembari melirik Senan yang merapatkan tubuhnya. Pria itu berdiri di depan Arsa. Seolah melindungi Arsaka yang menurutnya tidak mampu untuk memberikan perlawan.

“Gapapa,” bisik Arsa pelan, lalu memilih untuk berdiri sejajar dengan Senan. Tas tersebut pun sudah kembali dalam dekapan Senan akibat bantuan Arsa.

“Berani bener lu ama kita?!!” bentak si pemuda urakan.

Arsa menghela napasnya. Sementara Senan sudah menatap was-was pada sekitar. Sebab menurutnya, kedatangan Arsa itu akan menjadi beban tambahan untuk dirinya. Selama kenal, ia tak pernah sekalipun melihat Arsa melawan terhadap siapapun. Entah itu pada Alvaro, Nuraga, maupun Irvan yang sering mengerjainya. Atau bahkan anak-anak Garuda lain yang ikut meledek sosok itu dengan embel-embel ‘anak panti’.

Tuk!

Sebungkus rokok yang hanya terusak dua batang itu pun kemudian Arsa lemparkan pada salah satu mereka.

Hap! Ditangkap!

Senan melotot dan menatap tajam pada Arsa. Apa pria ini sama saja dengan Alvaro? Yang suka menghisap nikotin tanpa memikirkan kesehatan jangka panjang?!

Marlboro! Rokoknya bahkan sama dengan yang pernah Senan buang saat di apartemen milik Alvaro kala itu.

“Ambil itu aja, Bang. Baru kepake dua batang kok,” ucap Arsa kemudian. “Nih, duit buat beli nasi Padang sama teh anget,” lanjut Arsa menyerahkan selembar uang limapuluh ribu pada mereka. “Bagi-bagi, ya?!” lanjutnya.

Senan hanya bisa melongo dan menatap penuh heran. Tiga pemalak tersebut juga terheran-heran bukan main. Lagaknya tadi Arsa ingin melawan mereka. Namun malah menyerahkan barang dan uang begitu saja. Pasrah kah ia?

“Nah, gitu dong... ” sahut si urakan dengan sumringah. Kooperatif begini, ‘kan jadi lebih mudah tanpa buang-buang tenaga.

“Makasi bro!” ucap yang satunya lagi.

Arsa mengangguk. Duh, ngeri sekali Arsa melihatnya. Tindik telinga yang begitu lebar itu membuat ia merasa risih. Apa tidak sakit ya telinga mereka?

“WOI!!!” tiba-tiba sebuah suara yang terdengar berat dan menggelegar itu menjadi pusat perhatian mereka. Bahkan pengguna jalan lain pun sempat menoleh kaget oleh eksistensi suara tersebut.

Bukan hanya Senan yang semakin terlihat gundah. Tapi juga tiga pemalak tersebut seketika juga terlihat gemetar. Namun, tidak dengan Arsaka. Ia sama sekali tak gentar hanya karena sebuah suara besar itu tersirat penuh kekuasaan.

“Ngapain lu pada?!!” tanyanya pada ketiga si pemalak cemen yang ciut saat kepergok si penguasa jalanan yang sesungguhnya.

“Sa, kabur aja yuk?” kali ini Senan memilih untuk jadi pengecut. Ah, bukan. Mungkin untuk menjadi pahlawan kepada dirinya sendiri. Situasinya sudah genting. Orang-orang juga tampak tidak terlalu peduli. Bisa habis diri mereka ini nanti kalau tidak segera lari.

“Gapapa, Bang, cuma masalah kecil kok,” sahut Arsa menjawab si penguasa jalanan.

Senan kembali melotot heran. Bukannya malah menanggapi ajakan untuk kabur, Arsa malah bersikap SKSD dan ramah tamah kepada preman bertato dan celana penuh robekan tersebut.

“Lu dipalakin mereka?” tanyanya pada Arsa. Yang membuat Senan semakin tak menyangka adalah, nada bicara pria menakutkan itu malah terdengar sangat lembut dan sopan saat bertanya pada kawannya itu.

Sebungkus rokok dan uang limapuluh ribu tertangkap jelas dalam pandangan si penguasa jalanan. “BALIKIN!!!” bentaknya sembari mengadahkan tangan. Meminta kembali apa yang telah Arsa berikan pada mereka.

Dengan takut-takut, mereka pun hendak menyerahkannya kembali dengan pasrah. Namun belum sempat diraih, Arsa membuka suara, “gapapa Bang Marbun, itu ikhlas saya kasih.”

Senan dan tiga pemalak itu kembali mengaga. Pria berseragam sekolah itu mengenal si penguasa jalanan? Bahkan berani menyebutkan nama panggilannya! Wow, sungguh fantastis!

Pria yang bernama Marbun itu berdecak sebal sembari melotot. “Denger ye lu pada, sekali lagi gua liat ada yang gangguin anak Garuda, terutama anak ini,” Marbun menunjuk Arsa, “gua sunat lu semua ampe pangkal! Paham?!!!”

Semua meneguk liur dengan susah payah. “I-iya, Bang, paham.”

“AWAS KALAU LU ULANGIN!!” Mereka mengangguk-angguk paham dan nurut. “Gue tebas titit lu pake kapak.”

*Glek!*

Marbun memang tidak pernah main-main dengan ucapannya. Bacok orang saja dia sanggup. Bagaimana dengan kebiri?

“Jangan macem-macem lu ama ponakan gua!!!”

Gelagat kaget itu tampak tak ada habis-habisnya. Pemuda urakan yang sok berani itu telah salah mengusik orang. Ia telah mengganggu ponakan Marbun si penguasa jalanan kota.

“Po-ponakan?”

“Iye, ponakan gua. Mau ape lu?!! Mau gue patahin juga tulang lu pada?!” Mereka diam dan menggeleng gusar.

“Hah? Ponakan? Serem amat anjir?” batin Senan kacau balau. Antara bingung, kaget, heran, dan kesal.

“Eh tapi kok manggil Abang sih?” lanjutnya masih dalam hati. Semakin dipikir, semakin ia bingung sendiri. Tidak mungkin sekali preman ini adalah pamannya Arsaka Laksana.

Dengan gusar, rokok dan uang tersebut diserahkan kembali pada Arsa. Tiga pria itu juga memperbaiki letak sandangan tas milik Senan yang terkulai. Menepuk blezzer yang sebenarnya tidak kotor untuk mereka bersihkan dari debu.

Namun, Arsa tetaplah Arsa. Ia malah kembali menyerahkan pemberiannya. “Mana tau kalian belum makan beneran,” ucapnya ringan tanpa beban. Rokok tersebut juga telah ia serahkan. Lagian, tak berguna pula ia menyimpan barang yang semalam ia sita dari Irvan.

Ya, rokok itu tentu saja bukan milik Arsa. Semoga, Irvan ikhlas rokoknya ia berikan pada mereka-mereka ini.

“Beneran? Makasi yak!” ucap tiga pemalak tersebut berterimakasih sembari mengangguk-angguk hormat pada Arsa. Ah, Arsa sebenarnya tidak suka ada yang menundukkan kepala pada dirinya. Dia bukan siapa-siapa. Hanya manusia biasa yang mencoba mengerti bagaimana kejamnya dunia berjalan.

Tak berselang lama, kumpulan itu pun bubar. Senan hanya menjadi pendengar yang seolah mendadak serangan jantung saat Arsaka bercerita bahwa Marbun adalah penguasa jalanan kota. Bukan paman yang sebenarnya.

Sudut terminal, pasar, bahkan tempat-tempat pinggiran kota ini adalah wilayah kekuasaan Marbun. Ingatkah, kalau Arsaka itu memang terkenal namanya?

Saka Anak Garuda! Begitulah orang-orang bertato itu memanggil dirinya. Ada satu jasa besar yang dulu pernah Arsa lakukan untuk mereka. Maka, jangan pernah berani untuk menyentuh sang penyelamat berjasa.

“Lo ngerokok?” tanya Senan penasaran saat mereka sudah memasuki bus. Dua orang itu duduk berdampingan. Sementara Marbun sudah pergi terlebih dahulu untuk melanjutkan urusannya.

Arsaka melongo. “Aku? Ngerokok?” tanyanya memastikan. Senan pun mengangguk pasti. Rasa penasarannya tak henti-henti. Kalau sempat iya, maka akan ia pastikan pukulan tangan dahsyatnya ini mendarat di kepala milik Arsaka.

“Enggak lah, orang itu rokok juga bukan punyaku,” jawabnya.

“Terus, punya siapa?” tanya Senan penuh selidik.

“Punya Irvan.” Delikan itu terpampang jelas dari mata Senan yang sipit. Meminta penjelasan lebih.

“Semalem Irvan ngerokok di *rooftop* sekolah. Ya Arsa sita deh rokoknya.” Dengan begitu enteng Arsa memberitahu pada Senan. Toh, semalam pria itu juga sudah tidur duluan. Tentu ia tidak akan tahu apa yang terjadi sebenarnya tadi malam.

Senan mendengus kesal. Ternyata rokok itu milik teman sekamarnya. Dasar, selain menyebalkan dan bermulut pedas, lelaki itu juga sedikit nakal. Sok sekali menghirup nikotin di hari yang penuh masalah begini?

Arsa kemudian menoleh. Kini giliran rasa penasarannya yang harus terjawab. “Kamu ngapain bisa sampai di sana tadi?” tanyanya kemudian.

Senan melengos, lalu menyandarkan punggungnya di bangku. “Kelewatan dua halte,” jawabnya.

Ia tak berbohong. Sebab, sepulang dari rumah sakit hendak balik ke asrama sekolah, ia sibuk membalas pesan milik si perusak mood Senan sore hari yang mending ini. Sampai-sampai, ia tidak sadar sudah melewati halte dekat sekolah yang harusnya menjadi tempat pemberhentian Senan.

Ya, mau tak mau, ia harus turun di halte yang jalanannya sedikit asing bagi Senan. Makanya tadi ia sempat bingung dan planga-plongo. Rencananya sih ia akan pulang menggunakan Grab atau meminta supir Ibunya yang menjemput kemari. Tapi karena dihadang pemalak tadi, ia urungkan niatnya untuk mengeluarkan ponsel.

Untung ada Arsa. Jadi, ia tidak harus pusing-pusing memikirkan jalan pulang.

Arsa hanya manggut-manggut mendengarkan cerita Senan tentang kenapa ia bisa sampai di sana. Toh, tiap orang pasti memiliki urusannya masing-masing ‘kan?

“Lo sendiri habis dari mana emang?” tanya Senan pada Arsa.

Pria itu terlihat sedikit berpikir. “Emm, dari... ”

“Ini kalau Arsa jawab dari studio, Senan kan gak tau Arsa anak angkatnya Pak Jeriko? Aduh, jawab apa ya? Masa harus bohong sih?” batinnya langsung bingung dan gundah.

“Dari mana?” tanya Senan mendesak. Ia tak suka digantung seperti ini.

“Ada urusan, sedikit. Hehe... ” jawab Arsa yang membuat lawan bicaranya memicing.

Tak selang berapa lama, bus pun berhenti di depan halte dekat sekolah mereka. Gerbang sekolah sedikit terbuka. Satpam yang gantian berjaga itu berdiri dan juga menyapa siswa sekolah tempatnya mengabdi. Terlebih, mereka adalah siswa yang paling terkenal dan banyak dibicarakan di sekolah ini.

Arsaka dan Senan. Dua dari tujuh orang siswa yang acapkali menjadi bahan perbincangan.

Di gerbang tadi, Arsa dan Senan tak lagi melihat reporter yang menanti. Sudah sepi.

“Astaghfurullah!”

Arsa turut kaget saat Senan tiba-tiba menepuk pundaknya sedikit kuat sembari istighfar.

“Kenapa, Sen?” tanya Arsa was-was.

“Gue lupa beliin nasi Padangnya si Irvan!” Senan menepuk dahinya pelan. Ia sungguh lupa dengan titipan teman sekamarnya itu.

Mampuslah ia, pasti akan ada acara ngambek dan adu mulut setelah ini.

Arsa pun menghela napas lega. Ia kira ada apa pula.

Aliansi Garuda Melegenda
Karya Rofenaa

©ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet