Simulasi Tahap Dua

rofenaa
10 min readApr 26, 2022

--

Musik bergenre dangdut koplo bahkan tak lagi menarik perhatian Najmi kala latar suasana di dalam mobil ini berubah menjadi sedikit menegangkan. Seperti apa yang sudah diwanti-wanti oleh Adibya, nyatanya Pak Bahar memang sibuk mengoceh sepanjang perjalanan. Apapun akan dibahas oleh orang tersebut. Namun bukannya enjoy, Najmi malah merasa bahwa harga dirinya tengah dipertaruhkan saat ini. Mungkin Adibya akan maklum dan wajar jikalau Najmi tak mampu menjawab pertanyaan Pak Bahar. Namun di sini ada Puja, yang eksistensinya memang seorang gadis cantik nan pintar dan berwawasan luas. Najmi sungguh tak mau kalah dari gadis itu, apalagi di hadapan Adibya.

“Kan sekarang tuh banyak ya, kasus pencemaran nama baik gitu. Nah, itu tuh masuk ke penyelesaian perkara apa ya, Pak? Pidana atau perdata?” Itu Riski. Suaranya menarik perhatian Najmi yang duduk bersebelahan dengan Puja. Sedang pria itu merajai bangku paling belakang sendirian.

Pak Bahar terkekeh pelan. “Siapa nih, yang mau coba jawab dulu?” Sembari menoleh, lelaki itu malah melemparkan pertanyaan kepada Najmi dan Puja. Sementara, Adibya yang menjadi supir mereka itu hanya melirik Najmi lewat spion tengah. Hanya beberapa detik, namun anggukan tipis tanda memberikan semangat itu dapat Najmi tangkap dengan baik. Adibya tengah mengode dirinya untuk percaya diri.

“Masuk ke dalam penyelesaian perkara perdata bukan sih, Pak?” Najmi yang tepat duduk di belakang Pak Bahar pun mencoba menjawab. Namun bukannya merasa lega, Najmi semakin panas dingin saat sahabat Papinya itu menegur caranya dalam menjawab pertanyaan.

Lho, anak hukum kok cara jawabnya begitu? Yang pasti dong! Harus yakin sama jawaban yang kita lontarkan. Kalau kamu sendiri aja nggak yakin, gimana orang lain bisa percaya?”

“Ya kan saya nyoba jawab, Pak. Kalau salah ya diperbaiki nanti.” Mentang-mentang dia sudah kenal lama dengan Pak Bahar, gadis itu dengan santainya menjawab demikian kepada atasan sekaligus senior dalam berprofesi. Puja saja sampai melirik ngeri kala Najmi seolah tanpa beban malah menyandarkan punggungnya setelah berkata demikian.

“Ya jawabanmu memang nggak salah, Najmi. Tapi caranya yang salah. Nada suaramu nggak meyakinkan sama sekali. Dan yang bertanya pun pasti nggak bakalan puas atas jawaban yang kamu kasih. Makanya sekarang saya perbaiki. Orang hukum bukan seperti itu dalam menjawab pertanyaan. Harus tegas dan pasti.”

Najmi menghela napasnya pelan. Pak Bahar juga tidak salah dalam menanggapi hal ini. Najmi juga sudah pernah mendengar dan mempelajari basic dalam berprofesi. Ck, ia jadi cukup menyesal karena dulu tak pernah menaruh minat untuk berorasi. Najmi anti organisasi. Dia hanyalah mahasiswa kupu-kupu, alias kuliah pulang — kuliah pulang. Paling jauh nyasarnya ya kalau bukan ke mall, ya ke rumah Nabila. Itu saja rute gadis tersebut.

Najmi memang tidak memiliki modal dalam berdebat. Bukan berarti public speaking-nya yang minim, namun bobot dan kualitas ilmu hukum yang berada dalam otaknya saja yang pas-pasan. Kalau saja ada orang yang bertanya mengapa dirinya bisa kuliah di jurusan ini, Najmi pasti akan menjawab jujur. Bahwa, dirinya sangat membenci angka. Matematika adalah musuhnya. Satu-satunya alasan mengapa ia bisa sampai di titik ini, terlibat dalam dunia hukum, ya karena hanya menghindari pelajaran tersebut. Namun ternyata, di semester lima dirinya tetap bertemu angka-angka rumit. Mata kuliah Pajak dan Retribusi benar-benar menguras otak dan tenaga Najmi kala itu.

Karena sudah terlanjur basah, ya mending sekalian nyemplung aja. Begitu pikir Najmi setelahnya.

“Gini Riski, Najmi,” ucap Puja tiba-tiba bersuara. “Pencemaran nama baik itu dikatagorikan masuk ke dalam ranah hukum perdata. Persis kayak yang Najmi bilang tadi. Nah, pencemaran nama baik ini terjadi ya apabila tindakan tersebut dianggap menggangu reputasi orang lain,” jelasnya perlahan.

“Gimana, Ki? Udah tau kan sekarang?” Puja menoleh ke belakang. Mencari wajah Riski untuk ia tatap. Lelaki itu pun kemudian mengangguk paham.

“Mau lewat sosmed atau dari mulut ke mulut, perkaranya masuk ke perdata. Undang-undangnya juga udah ada, kan?” Puja masih saja berlanjut menyampaikan isi otaknya. Gadis itu, selain cantik, ya Najmi tidak bisa membantah bahwa dia juga pintar.

“Bahkan fitnah pun bisa dipidanakan, lho. Pemfitnah bisa digugat dan dijerat sesuai hukum yang berlaku. Tergantung seberapa dampaknya pada korban juga sih. Ada beberapa aspek dan faktor yang berlaku. Gitu… Paham nggak?”

Dari sorot matanya, Najmi tahu, bahwa Puja kali ini murni menjawab dengan tulus. Bukan untuk mencari muka, ataupun menarik perhatian Adibya. Gadis itu hanya ingin menyampaikan apa yang ia ketahui pada teman-temannya.

Good job, Puja. Jawaban kamu cukup memuaskan.” Pujian itu tentu tak luput dari rungu Najmi dan Adibya. Bahar mengapresiasi jawaban Puja dengan raut sumringah.

“Kebetulan nih, kalian kan udah hampir dua bulan magang di law firm saya, nah, setahu kalian, kasus perdata apa yang paling sering kita tangani?” Bahar belum habis nyatanya bertanya.

Ya Tuhan, ujian apalagi ini?

“Kayaknya sengketa lahan, utang piutang, sama wanprestasi deh, Pak. Saya inget banget waktu sidang putusan akhir malah heboh banget.” Dua Minggu lalu memang sempat terjadi sedikit kekacauan antara penggugat dan tergugat.

“Yang perkara wanprestasi itu ya?” tanya Riski ikut mengimbangi percakapan. Sedangkan Najmi, dia yang sudah hilang semangat itu hanya menjadi pendengar dalam beberapa menit ke depan.

Karena mengantuk dan tak lagi mempedulikan diskusi, Najmi pun memilih untuk memejamkan matanya saja. Tangannya terlipat di depan dada, dengan kepala yang bersandar pada kaca jendela.

Adibya kembali melirik. Bahkan pria itu sudah mencabut flashdisk yang isinya kebanyakan lagu dangdut koplo milik Pak Bahar. Lelaki itu menghubungkan perangkat mobil dengan ponselnya. Ia biarkan playlist yang pernah Najmi berikan kepadanya beberapa waktu lalu itu terputar menemani perjalanan mereka yang masih setengah jam lagi menuju pengadilan.

Entah sampai mana percakapan penuh ilmu itu berlangsung, ia tak peduli. Yang Najmi dengar saat ini hanyalah lantunan lagu milik Iwan Fals berjudul Bento. Hingga pada lagu-lagu berikutnya, rungu Najmi tak lagi menangkap suara apapun. Gadis itu berhasil terlelap dengan posisi duduk.

“Najmi,” panggil Puja sembari menggoyangkan lengan sang gadis. Namun yang dibangunkan malah tidak bergeming. Padahal mereka sudah sampai sejak dua menit yang lalu.

“NAJMI!” Bukan Puja, namun Riski lah yang bersuara dengan keras sembari memukul bahu gadis itu. Ia ingin cepat-cepat keluar, namun keberadaan Najmi masih menghalangi.

Momen itu tentu tak luput dari sorot Adibya. Lelaki yang hanya menyahut satu dua percakapan tadi bahkan kini memilih untuk menoleh. Ia tak suka saat Riski membangunkan sang kekasih hati dengan cara yang sedikit kasar.

Baru saja Adibya hendak protes, tubuh tersentak Najmi menarik perhatiannya. Gadis itu bahkan meringis, kemudian memijat kepalanya. Ia tipe yang tidak bisa bangun tidur dengan cara dikagetkan seperti tadi. Kepalanya akan berdenyut keras dan malah berakhir migran setelahnya.

“Turun, ih! Kita udah nyampe. Malah keenakan molor lagi lo!” Semenjak Riski tahu bahwa Najmi adalah calon istri Adibya, lelaki itu terlihat sedikit berubah. Caranya bicara, menatap, dan bersikap sudah tak seperti dulu. Mungkin dengan begitu lah cara Riski dalam menghilangkan rasanya untuk Najmi agar tidak terlihat seperti sad boy.

Dengan gerakan yang masih amburadul, Najmi tidak berkomentar. Dirinya memilih untuk lekas turun dan keluar dari mobil. Sementara Pak Bahar sudah berdiri di luar. Pria itu baru saja berbicara dengan kliennya hari ini.

“Masih ngantuk?” Saat langkah membawa mereka ke dalam gedung pengadilan, Adibya bertanya sembari mengulurkan sebotol air putih untuk Najmi.

Gadis itu menggeleng. Ia raih pemberian Adibya tersebut, lalu menenggaknya hingga habis setengah. “Jadi sakit kepala dikit karena bangunnya dikagetin Riski.”

Adibya mendengus. “Mau cuci muka dulu?”

“Boleh deh, biar seger.” Angguk Najmi setuju. Gadis itu langsung mengedarkan pandangannya mencari arah toilet.

“Tapi saya enggak bisa nemenin. Harus urus beberapa berkas sama Pak Bahar. Enggak apa-apa?” Najmi yang mendengarnya pun tentu hanya mengangguk sembari terkekeh geli. “Iya-iya, gapapa. Santai aja kali,” tutur Najmi setelahnya.

Selesai touch up dan menyimpan ponselnya di dalam tas, Najmi pun dengan segara melangkah keluar toilet. Ia tak mau orang-orang tersebut menunggunya terlalu lama.

“Udah?” tanya Adibya yang kebetulan kini langkah mereka segera menuju ruang sidang.

Najmi mengangguk. “Udah, udah seger.” Dengan wajah yang lebih ceria, gadis itu menjawab dengan sumringah.

Adibya tersenyum lembut. Lalu, dengan nada lembut tapi pasti, Adibya memuji. “Cantik.”

Seakan tak ada habisnya, Adibya terus saja membuat Najmi melayang hingga ke bulan. Pujiannya hanya satu kata, namun berjuta rasa malah tumbuh setelahnya. Najmi Desra salting brutal dibuatnya.

Meski sepasang insan itu berjalan paling belakang, nyatanya Puja yang berada tepat di depan mereka tentu masih mendengar percakapan tersebut. Bohong rasanya kalau dia tidak cemburu. Telinganya bahkan memanas kala lontran pujian yang Adibya tujukan pada Najmi tertangkap begitu saja.

Meski masih berjalan dengan kesan angkuh dan penuh karisma, Puja tertawa dalam hati. Ia menertawakan dirinya dan kisah cinta lama yang tak kunjung usai. Malangnya, pelakon utama lelaki dalam kisah ini sudah memiliki calon istri. Sedang Puja Larasati, masih terbelenggu dalam jerat ketidakjelasan.

Selama hampir satu jam, Najmi, Puja dan Riski hanya sibuk memperhatikan bagaimana sidang ini tengah berlangsung. Satu dua poin penting bahkan mereka catat pada notes masing-masing. Tak jarang, usai sidang kadang Pak Bahar melakukan evaluasi dari apa yang tiga pemagang itu tangkap. Meluruskan, memberi tahu, dan mengajarkan. Yang Bahar mau, pemagang yang pernah merasakan duduk di dalam firma hukumnya itu menjadi orang yang sukses. Paham dengan hukum, memiliki wawasan luas, dan tentunya berpengalaman.

Setelah sidang selesai, mereka pun berbincang dengan beberapa tokoh di pengadilan, serta berbicara dengan klien Pak Bahar. Setelah itu, karena situasi menguras otak dan emosi telah berlalu, klien Pak Bahar pun mengajak tim untuk mengisi perut. Meski belum masuk waktu jam makan siang, nyatanya soto ayam tetap cocok untuk dimakan setiap waktu. Najmi bahkan dengan sangat lahap sampai meminta tambahan kuah dan dagingnya. Mumpung ditraktir, katanya.

“Itu kuahnya pake cabe aja, Mas?” tanya Najmi saat baru sempat memperhatikan mangkuk soto Adibya yang kuahnya sudah tersisa setengah.

Anggukan pun menjadi jawaban yang Najmi terima. “Nggak pake saus kecap?”

“Mas Adib nggak suka kecap, Najmi.” Kini seluruh perhatian pun telah dicuri oleh Puja. Gadis itu berhasil menguasai pandangan Najmi tanpa berkedip.

Sadar bahwa hatinya tersinggung, Najmi dengan segera menyadarkan dirinya. Dia memanglah orang baru di hidup Adibya. Sedangkan Puja sudah lama mengenal pria itu. Jadi ya mungkin wajar saja jikalau dia tau betul apa yang disuka dan tidak disukai oleh Adibya Lofarsa.

“Ooh, nggak suka… Kayak Nabila dong berarti? Makan bakso atau soto emang nggak pernah mau pakai kecap sama saus.” Dengan begitu, Najmi mengalihkan rasa cemburunya. Raut wajah yang diusahakan sebiasa mungkin, menjadi andalannya untuk saat ini.

“Mas Adib suka pedes ya berarti?” Sering menghabiskan waktu bersama nyatanya belum membuat Najmi hapal akan selera makanan pria tersebut.

Senyum yang begitu menenangkan itu terpampang jelas. “Iya, suka.”

Najmi pun mengangguk. Namun matanya malah beradu tepat dengan manik Puja yang kini terlihat bangga. Seolah-olah dia telah unggul beberapa poin dari Najmi. Sebab, dihari-hari sebelumnya, Najmi bahkan tidak tahu bahwa Adibya tidak pernah suka dengan yang namanya Pizza. Gadis itu juga tidak tahu kalau Adibya tidak bisa mengonsumsi makanan yang terlalu manis. Hari itu, Puja bilang, Adibya merupakan tipe yang sangat menjaga kadar gula darahnya. Sebab, saat waktu SMA dulu, ibu pria itu meninggal karena diabetes. Jadi, sebagai keturunan langsung, lelaki itu harus menjaga pola makannya sebaik mungkin.

Saat itu, Najmi benar-benar merasa kecil. Ia tidak tahu apa-apa tentang Adibya. Hanya secuil dari jutaan kisah yang ia ketahui tentang pria itu. Namun dengan kalimat penenang dan meyakinkan, Adibya selalu berhasil mengembalikan rasa percaya diri Najmi. Ia yakinkan bahwa pengetahuan Puja tentangnya tidak sebanyak apa yang Najmi kira.

Namun kali ini rasa yakinnya seolah dipukul mundur ribuan kilometer. Puja lagi-lagi unggul berpoin-poin di atasnya. Gadis itu bahkan sudah terlebih dahulu menyodorkan tissu kepada Adibya saat Najmi tak sengaja menyenggol lengan lelaki tersebut. Kuah soto yang pedas tentu muncrat kala suapan Adibya malah terjun bebas kembali ke dalam mangkuk. Najmi benar-benar merasa bersalah.

Karena respon spontan yang Puja berikan, Adibya juga tidak terlalu memikirkan apapun. Dengan lekas ia meraih lembaran tissu tersebut. Lagian, matanya juga perih akibat kuah soto yang menyapa mata. Tak sempat berpikir bahwa Najmi kian terperosot jauh.

Adibya berdiri. Najmi pun ikut panik sembari meminta maaf tanpa henti. “Kak, maaf…. ” ucapnya tanpa mempedulikan bahwa mereka masih dalam jam kerja. Tak ada panggilan ‘Mas’ dalam sapaannya.

Hap!

Tangan Riski sudah melingkar di lengan Puja. Lelaki itu menggeleng saat Puja hendak turut berdiri mengikuti langkah Najmi dan Adibya yang mengarah ke wastefel restoran ini. Semua orang, termasuk Riski bahkan masih tidak menyangka kalau puja adalah mantan kekasih Adibya. Hal itu terungkap seminggu yang lalu kala Puja begitu aktif memberitahu Najmi tentang selera Adibya secara gamblang di depan semua orang. Mengundang tanya, bukan? Kala seorang pemagang punya pengetahuan lebih tentang senior di kantor. Hubungan pribadi di antara ketiganya bahkan kini menjadi hal yang begitu menarik dalam Khairul Bahar Law Firm Assocation.

“Kak, maaf. Aku beneran nggak sengaja…. ” Gadis itu tetap saja berulang kali meminta maaf meski sudah Adib jawab tidak apa-apa. Najmi meraih lembaran tissu yang sempat ia bawa dari meja mereka tadi.

Hubungan mereka belum seromantis itu. Buktinya, Najmi masih membiarkan Adibya mengelap wajahnya yang basah sendirian. Tidak ada sama sekali niat membantu mengelapkan terbesit dalam hati Najmi. Yang ada dalam pikiran gadis itu saat ini adalah mata Adibya sudah tidak perih, dan lelaki itu tidak marah dengan dirinya.

“Kak — ”

“Enggak apa-apa, Najmi. Mata saya juga udah nggak perih kok,” potong Adibya. Ia paham, bahwa kini perasaan gadis itu pasti tengah tercampur aduk.

“Maaf,” ulang Najmi lagi. Wajahnya tertunduk dalam. Sepatu pantofel milik Adibya dan heels miliknya menjadi pandangan utama Najmi saat ini.

“Hei….” Dengan lembut, Adibya menaikkan dagu Najmi menggunakan telunjuknya. Tatapan mereka pun beradu tepat memandangi raut masing-masing. “I’m okay. Kamu enggak perlu minta maaf lagi. Namanya juga enggak sengaja, ya kan?”

Bukan tenang yang didapat, Najmi rasanya malah ingin menangis kala tangan Adibya mengusap lembut kepalanya. Mata sebelah kiri yang memerah itu bahkan menambah luka di hati Najmi. Rasa bersalahnya begitu teramat kentara.

“Enggak apa-apa,” ulang Adibya menenangkan.

Dunia Najmi nano-nano saat ini. Marah, sedih, kecewa, dan sakit hati, semuanya menjadi satu. Ingin menangis pun rasanya ia malu. Maka dari itu sebisa mungkin ia tahan agar tidak meledak. Sebab, Najmi bukan tipe yang gampang untuk menghalau rasa cemburu. Dia bukan Nabila yang selalu blak-blakan kalau sedang tidak baik-baik saja. Dia juga bukan pula Uda Ghandi yang melepaskan kekesalannya dengan cara marah-marah. Najmi bukan pula seperti Papinya yang diam membisu kala kecewa. Dia bingung. Bagaimana cara mengekspresikan keadaan yang ia rasakan saat ini? Najmi benar-benar buta akan rasa.

Adibya mungkin memang bukan lelaki pertama yang membuat Najmi jatuh cinta. Namun Adibya adalah orang yang pertama kali membuat Najmi merasa dicintai berjuta kali lipat.

Tapi semakin hari, pertanyaan-pertanyaan yang menggoyahkan hatinya datang di hampir setiap malam. Mengganggu pikiran, dan waktu tidur Najmi.

Apa mungkin ini hanya asumsinya saja? Merasa paling dicinta, bahkan disaat dirinya masih buta akan rasa. Dia tak pernah kenal apa itu insecure. Namun saat Puja terus menghujani waktu dengan setiap fakta tentang Adibya, rasa iri Najmi kian menjadi. How to be Puja Larasati?

Narasi 14 ; Lofarsa

Karya Rofenaa

© ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet