Simulasi Tahap Satu

rofenaa
6 min readMar 12, 2022

Gurame bakar tersebut kini hanya tersisa durinya saja. Termasuk sambal, lalapan, dan lauk lainnya juga telah kandas dan raib masuk ke dalam pencernaan kedua insan yang keroncongan tersebut. Usai menyantap makanan penutup dan mengelap bibir dengan serbet, Adibya pun merogoh ponselnya untuk melaksanakan niat yang telah ia bangun sejak berada di pengadilan tadi.

Najmi pun menatap bingung kala Adibya tiba-tiba menyodorkan ponsel pada dirinya. “Minggu lalu, restoran ini tuh tempat saya dan Pak Khaffa ketemu. Dan di meja ini, beliau cerita banyak tentang kamu.” Adibya mulai menjelaskan maksud tujuannya mengajak Najmi kemari dengan nada setenang mungkin.

“Beliau juga kasih nomor kamu ke saya,” lanjut Adibya. “Tapi yang saya mau, biar saya aja yang minta nomor kamu sekarang. Mumpung ketemu orangnya langsung, kenapa enggak?”

Demi dewa-nya nenek di sinetron India berjudul Uttaran yang dulu sering Uda Gandhi tonton, rasanya Najmi ingin beteriak sekeras mungkin pada Icha dan Tapasya. Bahwasanya, Veer telah kalah telak dengan keberadaan dan eksistensi seorang Adibya Lofarsa. Pula tokoh fiksi kesayangan Najmi yang telah bersemayam di dalam liang lahat, lihatlah, bahkan dirinya kini telah menemukan satu lelaki yang nyata di atas dunia. Semoga ya tidak ikut bau tanah saja. Jangan sampai ya, semesta? Awas saja kalau sempat. Najmi guncangkan alam raya dan isinya ini (kalau dia bisa).

Dengan jantung yang berdebar dan tangan gemetaran, Najmi pun kemudian menerima uluran ponsel milik Adibya. Ia ketik nomor ponselnya di sana. Nama yang ia beri pun tidak tanggung-tanggung anehnya.

“Done!” Lalu ia serahkan kembali ponsel milik Adibya dengan senyum secerah bulan purnama.

Namun respon Adibya nyatanya tidak sesuai ekspektasi Najmi. Lelaki itu tidak mengecek kembali nama yang ia tulis. Melainkan hanya langsung mematikan layar, dan mengantonginya kembali ke dalam saku jas yang disampirkan pada kursi.

“Ngomong-ngomong, kamu masih ingat, kan, pasal 10 KUHP membahas tentang apa?”

“Hah?”

Najmi yang sedang berdumal dalam hati pun sedikit kaget saat mendapati Adibya yang tiba-tiba saja bertanya demikian.

“Pasal 10 KUHP tentang apa?” ulangnya lagi.

“Mendadak banget nih, Mas, kuisnya?” tanya Najmi setengah protes. Ia jadi nge-blank karena ditanyai secara tiba-tiba seperti ini oleh Adibya.

Sialnya, Adibya malah mengangguk. Menimbulkan rasa kesal Najmi yang kembali tumbuh pada lelaki ini. “Gila, berasa mau kompre lagi nih gue,” batin Najmi.

“Apa?” Adibya tidak menyerah.

Sebenarnya, dia hanya menjalankan amanah Pak Bahar saja. Sebab, dasar-dasar dalam hukum memang harus duduk jikalau ingin menjadi seorang ahli hukum itu sendiri. Sebelum berangkat kerja tadi, Pak Bahar sempat menelepon. Mengatakan pada Adibya untuk menerapkan salah satu sistem interview-nya selama ini.

“Pasal 10 KUHP... ” gumam Najmi sembari berpikir. Matanya menatap langit-langit restoran sembari mengulik pelajaran saat semester tiga dahulu. “Bahas macam-macam pidana nggak sih?” lanjutnya dengan raut terang. Najmi yakin betul kalau dia menjawab dengan benar.

Namun lagi-lagi respon Adibya hanya bisa diberi bintang satu oleh Najmi. “Harus yakin dong sama jawabannya. Kalau kayak gitu cara kamu menjawab, gimana orang bakalan percaya sama kamu?”

“Sekalipun jawaban kamu benar, kalau kamu sendiri masih ragu atas jawaban yang kamu utarakan, orang yang mendengarnya juga pasti tidak akan puas.” Begitulah pelajaran tersirat yang dapat Najmi pelajari di hari pertama ini tentang Adibya. Lelaki ini aneh, bersamaan dengan sisi penasaran Najmi yang kian membuncah.

Namun tetap saja. Sang gadis berkeringat dingin. Dirinya sudah biasa jika tidak dapat menjawab pertanyaan dari dosen saat di kelas dulu. Tapi kalau untuk kuis dadakan bersama Calon Ayang, oh, Najmi sungguh akan malu tujuh turunan kalau tak bisa menjawabnya dengan benar.

“Isi Pasal 10 KUHP itu adalah macam-macam pidana. Macamnya ada dua, yang pertama pidana pokok, yang kedua pidana tambahan.” Dengan memberanikan diri dan bermodal pede yang dipaksa berkumpul, dalam nada suara meyakinkan, Najmi pun mengutarakan jawabannya. Sementara Adibya dengan setia mendengarkan sembari mengangguk-angguk.

“Lanjut,” gumam Adibya mempersilahkan Najmi melanjutkan jawabannya.

“Pidana pokok sendiri tuh punya pembagiannya. Yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, sama denda. Kalau pidana tambahan, pembagiannya juga ada. Kayak pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang tertentu, sama putusan hakim atau vonis.”

Adibya tersenyum tipis. Ia cukup puas dengan jawaban Najmi meski nada bicaranya masih belum terdengar bulat penuh, alias percaya diri.

“Bagus,” puji Adibya menepuk tangan tanpa suara sebanyak dua kali. Najmi pun menghembuskan napas lega dan tersenyum lebar meski sedikit dipaksakan. Akhirnya, ia tak jadi malu.

“Saya cuma mau kasih kamu simulasi kalau ketemu langsung sama Pak Bahar di kantor.”

Najmi masih loading. “Maksudnya, Mas?”

“Beliau suka tiba-tiba nanya materi kuliah ke anak-anak yang pernah magang di law firm-nya. Jangankan anak magang, ke saya atau Mas Riyan aja sering begitu.” Adibya dengan senang hati membocorkan kebiasaan Pak Burhan yang bisa menjadi bekal Najmi kalau nanti bertemu dengan teman ayahnya itu.

“Oooh, ternyata Om Bahar kayak gitu ya kalau lagi kerja?” batin Najmi berbisik.

“Atau enggak ya beliau suka nanya-nanya opini kita terhadap suatu fenomena hukum yang belakangan terjadi. Diskusi terbuka, namanya. Tapi mutu kita bakalan beliau nilai dari sana.” Adibya lanjut memberitahu Najmi informasi tentang simulasi tahap lanjutan dari Pak Bahar.

“Buset, serem amat?” sahut sang gadis ngeri-ngeri sedap. Om Bahar yang receh kalau tengah bersama Papi-nya itu, ternyata demikian, ya? Hmm, patut dipelajari, sih.

Lelaki itu terkekeh melihat ekspresi Najmi yang cemas, lalu dua detik kemudian kembali berubah biasa saja. Gadis tersebut benar-benar pandai memainkan ekspresinya. Cocok jadi aktor kalau menurut Adibya.

“Ya udah, balik yuk. Saya juga belum zuhuran.”

Najmi mengangguk, kemudian berdiri mengikuti langkah Adibya dengan santai sembari memoles bibirnya kembali dengan lipstik agar kembali terlihat cerah. Tanpa cermin. Melainkan hanya menggunakan layar ponselnya saja.

“Makasih, Mas. Simulasi dadakannya,” ucap Najmi saat Adibya hendak menyalakan motor.

Adibya mengangguk. “Tapi itu masih simulasi tahap satu, lho. Belum tahap lanjutan,” tutur Adibya kemudian terkekeh.

“Emang biasanya Pak Bahar suka yang tipe kayak gimana, Mas? Kalau ngasih opini?” Najmi bertanya saat Adibya hendak menutup wajahnya dengan kaca helm.

Dan sepanjang jalan itu, terciptalah percakapan yang sebelumnya tak pernah dihadapi oleh Najmi. Terlebih, lawan bicaranya adalah Adibya. Meski cara bicaranya sedikit kaku, Najmi akui, bahwa Adibya memiliki wawasan yang luas, dan pandai menjelaskan sesuatu. Lelaki ini jelas tidak akan membosankan.

“Selama saya kerja sama Pak Bahar, meskipun statement yang diberikan orang-orang sebelum kamu itu memang benar dan patut diacungi jempol, saya belum pernah lihat ada satu pun anak magang yang bisa matahin argumen beliau.” Satu lagi informasi penting telah Najmi dapatkan. Tapi, ah, mana mungkin orang seperti dia bisa mengalahkan Khairul Bahar dalam debat maupun diskusi terbuka.

“Enggak perlu cemas. Namanya juga fresh graduate. Masih butuh untuk belajar lebih. Saya dulu juga gitu, kok. Yang penting itu, kalau enggak tau, ya ditanya. Cari tau sebisa mungkin sampai jawabannya ketemu. Bukan cuma diem aja.” Dari balik masker itu, Adibya berbicara dengan sedikit keras. Ada suara bising yang harus ia kalahkan di tengah padatnya jalan raya.

Najmi yang sedikit mencondongkan tubuhnya ke samping kanan pun tetap menjaga jarak dan keseimbangan. Telinganya ia lebarkan demi mendengar segala ucapan Adibya padanya.

“Kusut tuh, rambutnya.” Adibya menunjuk surai hitam Najmi yang kusut akibat keluar masuk helm. Mereka telah sampai kembali di kantor.

Dengan lekas, Najmi merapikan dengan seadanya. “Nanti gue—eh, saya maksudnya.” Gadis itu langsung memperbaiki kosa katanya. Hampir saja ia keceplosan. “Nanti saya rapihin di toilet deh,” lanjut Najmi. Adibya pun mengangguk.

Langkah demi langkah pun mulai mendekati pintu masuk. Namun panggilan Najmi di kemudian ayunan kaki pun menghentikan Adibya.

“Mas Adib?” Ujung lengan jas pun menjadi pegangan Najmi menahan Adibya. Lelaki itu lirik, namun tarikan itu tak lekas dilepaskan oleh sang puan.

“Iya, kenapa?” tanyanya lembut tanpa menghiraukan jemari yang mencapit ujung lengan jasnya dengan lucu.

To be honest, perkenalan dan pertemuan pertama kita sangat mengesankan.”

Diri Adibya seolah dihantam oleh satu kalimat tersebut. Ingatannya kembali pada hasil curhatan dengan teman baiknya, Mino Prabuartha. Padahal, Adibya sudah berusaha untuk sebisa mungkin bersikap biasa saja dalam menghadapi gadis-gadis, baik di luar maupun di dalam urusan pekerjaan. Namun pada nyatanya, Adibya baru menyadari, bahwa sikapnya pada Najmi secara alamiah terbentuk demikian. Lembut, ramah, dan terbuka. Padahal Adibya yang biasanya tidak berlaku demikian kepada perempuan.

Inikah yang namanya getaran asmara? Cinta pada pandangan pertama itu, sebelumnya tidak pernah Adibya percayai. Namun setelah bertemu Najmi, apakah akan segera ia validasi?

Yeuuu, malah bengong!” Gadis itu kembali bersuara saat mendapati Adibya hanya terdiam cukup lama. Ia lepas tarikan pada lengan jas milik lelaki tersebut, kemudian berjalan terlebih dahulu meninggalkan Adibya.

Lelaki itu berkedip. “Semoga kehadiranmu bukan untuk mengajarkanku arti sebuah kehilangan lagi, Najmi.”

Keputusan pun hari ini telah mutlak Adibya dapatkan. Akan ia perjuangkan, dan akan ia bicarakan perjodohan ini kembali dengan Pak Khaffa. Yang patut untuk dibicarakan, nanti akan ia bicarakan. Sekarang mari fokus mencari cara untuk membagi waktu agar efektif. Adibya tidak mau waktunya menjadi tidak seimbang dan tidak stabil dalam satu dua hal. Ya, Adibya Lofarsa memang bisa dibilang seseorang yang perfeksionis, dan gila kerja. Itulah dia.

Narasi 3 ; Lofarsa
Karya Rofenaa
© ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet