Ada banyak hal yang telah terjadi dalam kehidupan rumah tangga Najmi dan Adibya. Ada begitu banyak kejadian, masalah, dan tragedi yang bahkan imbasnya masih belum usai hingga saat ini.
Adibya bukan tidak berpikir. Najmi pun juga bukannya tidak peduli. Mereka ini sama-sama ikut andil, entah itu terhadap sebab, maupun akibat. Karena jauh sebelum ini, keluarga kecil yang pondasinya dibuat kokoh dan selalu mereka coba pertahankan ketahanannya, memang telah melalui banyak perkara.
Entah itu tentang resiko pekerjaan, tuduhan perselingkuhan, orang masa lampau, sampai pada perang antar anggota keluarga pun sudah pasangan itu jabani. Yang syukurnya, tak ada dari mereka yang goyah. Dua insan yang telah digariskan oleh takdir untuk tetap selalu bersama dan menjadi satu kesatuan itu tetap berdiri kokoh pada tungkainya masing-masing.
Namun entah mengapa, rasanya ini sudah mencapai batas maksimal kesabaran dan ketabahan Adibya dalam menghadapi masalah. Ia benar-benar sudah lampaui kewarasannya sendiri, hingga berakhir jadi seperti ini.
Adibya Lofarsa ini juga manusia, yang miliki banyak kekurangan. Ia juga punya beban, yang tak semua bisa bagikan pada teman hidupnya — Najmi Desra.
Bapak anak satu ini bukan ingin ingkari janji sendiri. Ia bukan sosok munafik yang melanggar prinsipnya sendiri terhadap kehidupan dalam berumah tangga. Tapi sungguh, hal itu, ia lakukan demi tak beri beban lebih pada istrinya. Najmi Desra sudah cukup banyak miliki hal-hal yang harus dipikirkan. Perempuannya juga butuh jeda, butuh ruang untuk bernapas meski barang sejenak. Maka dari itu, perihal kecemasan Adibya atas ancaman keselamatan yang lagi-lagi menyambangi keluarga kecilnya akibat perkara pidana yang sedang ia tangani, Najmi tak boleh sampai tahu. Musuh mereka semakin banyak.
Meskipun istrinya itu pasti mengerti apa akibat dari sang suami mengambil penyelesaian kasus ini, Adibya bersama rekan-rekan advokat lainnya jelas sangat tidak mau keluarga mereka ikut disentuh dan terkena imbas.
Adibya Lofarsa tentu bisa melindungi keluarga kecilnya dengan kuasa yang ia miliki. Mulai dari mendiang Bapak yang merupakan Pensiunan Tentara berpangkat tinggi, mertua yang merupakan Notaris dan Makelar Tanah ternama, kakak kandung Abdi Negara, Dokter, dan Pebisnis. Belum lagi kakak satu-satunya Najmi yang menjabat sebagai Direktorat Transformasi Proses Bisnis di Dirjen Pajak. Serta ipar lainnya yang duduki kuasa sebagai Executive Chef, Polisi Perwira Menengah, Dekan Fakultas Teknik UI, dan pebisnis agen transportasi ternama di luar kota.
Lantas kurang apa lagi link yang Adibya miliki? Tentu banyak. Sebab dari semua yang ia sebutkan, paling hanya beberapa yang akan ikut melindungi. Alasannya ya balik lagi … perang antar keluarga yang mahadahsyat. Bahkan masih ada perkara yang sampai saat ini belum selesai. Dan hal tersebut sudah dimulai sejak berbulan-bulan yang lalu. Jauh sebelum Abbas akan berulang tahun.
Maka kini, pada siapa pun yang mungkin saja mampu menarik dirinya dari tempat ini, tolong, biarkan Adibya untuk menetap selama yang ia inginkan. Sebab, apa yang tengah ia lalui sekarang, sungguh membuat hatinya terenyuh. Debar dadanya menggila, lebar senyumnya tak henti selipkan rasa syukur berulang kali. Sebab Adibya sangka, kehilangan Abbas adalah suatu takdir pahit yang nyata. Makanya dia ingin berlama-lama di sini, di ranjang rumah sakit yang saat ini biarkan raganya menyentuh sang Jagoan yang baru saja sampai.
Katanya Abbas terbang dari Jakarta menuju Samarinda.
“Ini bener Abbas, kan, Sayang?” Adibya kali ini ingin memastikan lagi, bahwa sosok yang Najmi dudukkan tepat di sisi ranjang itu memanglah putra sematawayang mereka.
Dengan sabar dan penuh ketulusan, Najmi pun mengangguk pasti dan beri senyum ketenangan. “Iya, Mas. Ini Abbas, anak kita. Dia di sini, nggak bakal ke mana-mana kok.”
Najmi mengerti, bahwa psikis dan mental suaminya saat ini sedang tidak stabil. Adibya masih belum bisa membedakan mana dunia mimpi, dan mana realita yang sesungguhnya. Karena luka yang lelaki itu terima … rasanya begitu nyata.
Kata dokter, hal ini wajar. Adibya ini punya banyak beban yang tak mau ia bagikan. Hingga malah berakhir yang demikian. Tetapi Najmi bisa jadi sedikit tenang kala dokter melanjutkan penjelasannya tentang Adibya yang pasti akan perlahan pulih. Halusinasi dan bekas mimpi buruk yang melekat dalam ingatannya akan perlahan sirna seiring jalannya waktu.
Meski harus mengonsumsi obat dan konsultasi pada Psikolog, tak masalah. Yang penting suaminya itu bisa kembali seperti semula. Najmi berjanji akan selalu setia temani suaminya, lelaki yang paling dia cinta, Adibya Lofarsa.
“Papa kenapa bisa tumbang begini? Abang khawatir tau!” Abbas merebahkan diri, lalu mengisi celah yang ada di dekat Adibya. Anaknya itu menenggelamkan diri di bawah rengkuhan lengan sang Papa. Tak masalah kalau kepalanya harus bersandar di dekat ketiak lelaki hebat itu.
Yang menerima protes hanya terkekeh gemas, lalu membawa tangannya yang diinfus itu untuk beri usapan pada rambut sang Jagoan. “Maaf, ya, Bang. Gara-gara Papa sakit begini pesta ulang tahunnya jadi gagal.” Adibya tentu merasa bersalah. Hal ini bahkan sudah menjadi momen yang paling ditunggu-tunggu anaknya. Merayakan ulang tahun yang ke-6 bersama keluarga besar, teman-teman di sekolah, hingga teman-temannya di panti asuhan. Tetapi semua harus gagal dikarenakan kondisi fisiknya yang tiba-tiba drop hingga pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit seperti ini. Terlebih sekarang mereka di kota orang.
“Gapapa, tau, Pa! Yang penting Papa sehat dulu ya? Pestanya bisa kapan-kapan kok. Abang ngerti kalau ini bukan kuasa kita. Yang namanya manusia kan cuma bisa berencana. Selebihnya ya Tuhan yang atur, kayak yang selalu Mama sama Papa bilang ke Abang. Gitu, kan? Jadi ya no problem.” Abbas tampak mendongakkan kepala, demi lihat raut wajah sang Papa yang juga rela tundukkan wajahnya.
Adibya lantas tersenyum lebar, lalu bubuhi kecupan yang begitu lama pada kening sang Jagoan. Hatinya menghangat, bersamaan dengan perih yang kembali sambangi ingatan kala memori kehilangan juga datang menghantam.
Sungguh Adibya tak mau kejadian itu lagi-lagi terulang meski hanya sebatas dalam bayangan.
“Makasih, ya, Bang. Udah jadi anak yang selalu pengertian dan berhati lapang. Nanti Papa janji, setelah sehat, kita re-schedule acaranya.” Mendengar hal itu, Abbas hanya mengangguk riang dan menjawab kalimat Adibya dengan penuh semangat.
“Sama-sama, Bos!” sahutnya lalu beri pelukan pada sang Papa. Namun ia lekas merenggangkan kembali dekapannya itu kala mendengar sang panutan memintanya untuk juga berjanji.
“Janji apa?” tanya Abbas kemudian.
“Janji Abang jangan ke mana-mana, ya? Di sini aja sama Papa. Sama Mama. Abang nggak boleh pergi ke mana pun. Oke?” Karena merasa tidak akan pergi ke mana-mana, dan akan selalu tetap tinggal bersama orang tuanya, tentu saja Abbas mengangguk dengan pasti. “Iya, Papa. Abang janji nggak bakal ke mana-mana kok! Lagian Abang masih kecil. Mana berani pergi sendiri, apa lagi kalau nggak izin sama orang tua.” Begitu sahutnya.
Najmi yang menyimak percakapan tersebut hanya bisa menarik napasnya dalam-dalam. Karena sungguh, melihat Adibya yang seperti ini tentu membuat hatinya tersayat-sayat.
“Dek.” Panggilan Adibya di kemudian sekon tentu memecahkan lamunan Najmi yang sedang mencoba luruskan benang-benang kusut di kepalanya.
“Iya Mas, kenapa?” Perempuan itu lantas mendekatkan diri, ikut berikan elusan pada surai Adibya. Namun pergerakannya itu harus berhenti kala sang suami malah meraih tangannya tersebut untuk digenggam.
“Kamu juga jangan ke mana-mana, ya? Mas pasti hancur lebur kalau nggak ada kamu.”
Menangkap jelas permintaan Adibya yang terdengar lirih namun penuh pengharapan, tentu langsung membuat Najmi berlinangan air mata. Ingin menangis rasanya tidak mungkin karena ada Abbas di depannya. Jadilah sang Puan hanya bisa mengangguk dan beri kecupan yang sedikit lama pada dahi sang suami.
“Aku pasti akan selalu bersamai kamu, Mas. I swear.”
Das Sein by ebbyyliebe