Rumah adalah satu hal yang paling Lino hindari selama hidupnya. Jadi, saat pengumuman bahwa rangking paralel 50 besar kelas 12 akan diberlakukan sistem asrama menjelang UN, ia sangat senang. Dirinya senang bisa lepas dari lingkaran keluarga toxic yang selalu membanding-bandingkan dirinya dengan sang adik, Sandi.
Pria yang lebih muda dua tahun darinya itu benar-benar menjadi sosok yang sangat menyebalkan bagi Lino. Semenyebalkannya Irvan, masih ada Sandi yang berada di posisi pertama. Anak itu selalu saja berhasil membuat Lino naik darah.
Contohnya saja saat ini. Makan malam keluarga besar merupakan tradisi memuakkan yang selalu akan Lino serapahi dalam hatinya. Nenek gemuk dan cerewetnya itu sungguh juga ikut menyebalkan. Selalu saja membanggakan Sandi, yang nyatanya memang berada di peringkat satu rangking paralel angkatannya. Mereka memang sama-sama bersekolah di SMA Garuda Pancasila. Sandi kelas 10 dan Lino kelas 12.
Saat SMP pun, pria itu selalu menjadi yang teratas. Semua permintaannya dituruti. Semua kebutuhannya pun dipenuhi. Sedangkan Lino, meminta dibelikan ponsel baru saja lamanya luar biasa. Tunggu mulutnya berbuih setiap hari, baru disanggupi. Sebab permintaannya akan selalu belakangan untuk dipenuhi. Sementara Sandi, yang dua minggu lalu minta dibelikan motor dan MacBook baru, besoknya langsung sampai ke tangan pria itu.
Jangankan ponsel, Lino meminta Ibunya untuk datang rapat saja susahnya luar biasa. Ayahnya juga tidak bisa. Ada sidang penting katanya. Sedangkan neneknya, wanita tua itu sibuk mengurusi pensiunan di bank tempatnya bekerja dulu.
Apakah tidak ada yang peduli padanya? Padahal saat dua bulan lalu, saat rapat komite kelas 10 dan 11, ayah dan ibunya malah datang bersamaan. Tapi kini, giliran Lino yang meminta, satu pun tak ada yang bisa.
Ayahnya berprofesi sebagai Hakim. Ibunya berprofesi sebagai Detektif bisa disebut Penyidik Kepolisian. Orangtua Lino memang orang hukum. Ia paham seluk beluk aturan negara, undang-undang dan peraturan pemerintah segala macam. Tapi perasaan anak sendiri malah tidak bisa mereka pahami. Adil terhadap penanganan kasus, tapi pada anak sendiri saja tidak bisa berlaku adil. Pantaskah mereka disebut orangtua?
“Sandi, belajarnya lancar sayang?” tanya Sonya seraya menyendokkan nasi ke piring sang suami. Tatapannya begitu terlihat tulus pada Sandi.
Pria itu mengangguk dan tersenyum. Ayahnya juga mengacak pelan surai si bungsu. Sedangkan Lino, ia hanya bisa mengepalkan tangannya di bawah meja. Tatapan meremehkan dari Sandi adalah hal yang paling ia benci setengah mati. Adiknya itu seolah berbicara dengan tatapannya. Bahwa, ‘Lihat, mereka lebih sayang sama gue.’
Tigapuluh menit di meja makan bagaikan satu tahun bagi Lino. Dirinya muak dengan keadaan yang seolah-olah tak menganggap bahwa dirinya juga ada di antara mereka. Keberadaan Lino seolah bayang semu yang tak pernah dianggap ada.
“Besok beneran gak ada yang bisa dateng rapat?” tanya Lino memberanikan diri. Meskipun kali kedua sudah dijawab tidak bisa. Maka untuk ketiga kalinya Lino ingin memastikan keputusan orangtuanya.
“Kan udah dibilang, Mama sama Papa tuh gak bisa, Kak. Ngerti dong kalau orangtua kita tuh sibuk. Jangan banyak nuntut.”
Lihat? Adiknya itu bersikap seolah paling dewasa di antara mereka. Lino mendengus, “Gue nanya mama papa, bukan lo,” sahutnya dengan mata tajam.
“Sandi bener Lino. Kamu sebagai anak sulung harusnya ngerti kalau orangtuamu ini sibuk sama pekerjaan.” Sonya malah menyetujui ucapan Sandi. Padahal Lino hanya bertanya untuk memastikan. Apakah di antara mereka tak ada yang bisa datang rapat? Tapi nyatanya, dia malah diintimidasi seperti ini.
“Kenapa sih kamu gak juga bisa bersikap dewasa? Lagian gak pergi rapat juga nanti bakalan tau kan hasil rapatnya? Tinggal tanya sama temenmu apa susahnya?” Oma ikut menimpali.
Rafi menghela napasnya pelan, lalu meneguk air putih yang telah disediakan Sonya. “Kasih satu alasan kenapa Papa harus datang ke rapat itu,” tuturnya pada Lino.
“Maksud Papa?”
“Ya kasih Papa satu alasan, kenapa Papa harus menunda persidangan hanya untuk datang rapat ke sekolahmu?” Lino terdiam. Alasan? Apakah untuk datang rapat butuh alasan penting?
“Kalau gak bisa dateng ya udah,” jawab Lino sembari berdiri. Makanan di piringnya sudah habis. Tak perlu lagi ia berada di sini.
Rafi yang melihat anaknya tidak bertatakrama karena meninggalkan meja makan terlebih dahulu daripada yang lebih tua pun menatap berang.
“Siapa yang suruh kamu pergi?!”
“Makananku udah abis,” jawab Lino apa adanya.
“Papa tanya sekali lagi, kenapa Papa harus datang?” tanya Rafi menahan emosinya.
Lino mendengus, “Kenapa aku harus menjawab pertanyaan yang harusnya Papa tau jawabannya?”
“Bukannya itu tanggungjawab Papa sebagai orangtua?” lanjut Lino tersenyum miring.
Rafi melotot tak menyangka pada anaknya itu. Lino yang selama ini pendiam sudah berani menjawab ucapannya. “Berani kamu mendiktekan Papa?”
Lino merotasikan bola matanya.
Tukk!!!
Sendok makan itu sudah jatuh ke lantai setelah mengenai jidat Lino. Rahang pria itu pun mengeras. Tangannya ia kepal sekuat mungkin menahan emosi. Ia usap dahinya sekilas.
“Yang bener matamu itu Lino! Siapa yang ngajarin kamu ngeliat orangtua kayak gitu, hah?!!”
Suasana meja makan berubah tegang. Kalau ayah dua anak itu sudah marah, maka tidak akan ada yang berani berkutik.
“Kenapa Papa selalu tanya ke aku? Harusnya Papa dan semua orang di sini tau kenapa aku bisa kayak gini,” jawabnya kemudian berlalu begitu saja.
“LINO! PAPA BELUM SELESAI BICARA!”
Tapi Lino memilih untuk menulikan pendengarannya. Ia tetap melangkah menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua. Tapi langkah berat itu terhenti di ujung anak tangga terakhir. Tangannya ditahan oleh sosok Sandi yang ternyata mengikuti Lino.
“Mau lo apa sih, Kak?! Bisa gak sekali aja lo gak cari emosi Papa?” Lino menatap sinis. Lalu ia hempaskan tangan Sandi dari pergelangannya.
Lihatlah drama anak yang haus akan pujian ini. Dia bahkan sengaja mengeraskan suaranya agar terdengar oleh orang-orang yang ada di ruang makan.
“Orangtua kita tuh kerja buat kita juga. Harusnya lo paham hal itu!”
Lino terkekeh. “Buat kita? Buat lo kali,” sahutnya. Pria itu kembali merubah wajahnya menjadi datar. Lalu berjalan meninggalkan Sandi. Buang-buang waktu jika harus berbicara dengan anak suka cari muka ini.
Pintu kamar itu ia banting. Lino raih jaket, dompet, dan kunci motornya. Kemudian ia buka lagi pintu kamarnya. Pria itu berjalan cepat menuruni tangga. Melewati Sandi yang menatap bingung sekaligus sebal.
“Mau kemana kamu?” tanya Sonya saat mendapati anaknya itu hendak berjalan ke ruang tamu.
“Paling juga ke studionya. Dance-dance gak jelas,” timpal Sandi memprovokasi. Lino hanya diam. Kenapa pula adiknya itu menjelek-jelekkan hobinya?
“Kamu masih ikut dance club itu?!” tanya Rafi tak percaya. Pasalnya, sudah dari lama ia memerintahkan Lino untuk berhenti dan keluar dari dance club tidak jelas tersebut.
“LINO!!!”
Suara Rafi meninggi saat Lino malah memilih melanjutkan langkahnya menuju garasi. Dia tidak peduli jika orangtuanya itu tidak akan membukakan pintu untuknya setelah ini.
Lino kendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Komplek perumahan elit memang sepi setiap saat. Penghuni di setiap rumah yang ada di sana adalah orang-orang kaya dan sibuk.
Pikiran Lino kusut. Hatinya gondok bukan main. Sakit sekali rasanya menjadi anak yang selalu dibanding-bandingkan. Giliran dalam belajar, usahanya tidak dihargai. Ketika punya hobi malah dilarang. Egois sekali orangtuanya.
Baru lima menit ia habiskan perjalan menuju studio latihan, seorang pria yang mengayuh sepedanya itu malah tiba-tiba muncul di sebuah persimpangan. Mengakibatkan tabrakan kecil itu tak sempat untuk ia hindari. Untung saja kecepatan motornya tak secepat saat awal menarik tali gas dari rumah. Kalau tidak, mungkin si pengendara sepeda itu sudah dipastikan mati di tempat.
Lino dan motornya hanya sedikit oleng. Lalu dengan perasaan cemas ia standardkan motornya. Ia hampiri si pria yang kini meringis di pinggir jalan. Ia terhempas beberapa langkah dari sepedanya.
“Arsa?!! Astaga!” kaget Lino saat mendapati pria yang ia tabrak itu adalah teman satu sekolahnya. Iya, Arsaka Laksana, siswa peringkat satu yang mengalahkan Alvaro Marfellio.
Lino panik bukan main. Warga dan pengendara motor lain pun mulai ramai mengerubungi mereka. Satu dua berbisik membicarakan Lino yang seenaknya berkendara. Yang lain juga mengatakan bahwa Arsaka tidak hati-hati saat hendak menyebrang jalan di persimpangan.
Mau tak mau, Lino bawa pria itu ke rumah sakit terdekat dengan motornya. Sementara sepeda pria itu ia titipkan di depan Indomaret didekat sana.
Lino menghela napas lega saat Arsa hanya terluka pada bagian dagu dan siku. Sementara lututnya hanya memar biasa. Tapi meskipun begitu, ia tetap merasa bersalah pada Arsaka.
“Arsa, sorry banget, sumpah gue gak sengaja,” tutur Lino saat mereka sudah boleh pulang dari rumah sakit. Luka pria itu hanya dibersihkan, diobati, lalu diberi kain kasa. Untung saja tidak ada luka robek.
Arsa meringis saat luka disikunya terasa perih. “Ya udah, gapapa. Mau gimana lagi? Udah kejadian juga.” Ia berjalan dengan sedikit pincang. Pergelangan kakinya hanya sedikit terkilir. Nanti bisa cari tukang urut saja pikirnya.
“Aduh, jadi gak enak. Sorry ya, Sa.” Lino mengusap tengkuknya. Entah untuk berapakali ia akan meminta maaf pada Arsaka.
Niatnya yang tadi ingin pergi memenangkan diri, malah mendapat masalah. Besok-besok ia tak akan pernah lagi mau berpergian dengan kondisi hati yang buruk dan kepala mumet. Sungguh, tidak lagi. Ia tak mau nyawanya dan nyawa orang lain malah menjadi korban.
“Gapapa, lagian aku salah juga. Mau nyebrang gak lihat dulu,” tutur Arsa tidak masalah. Ia juga tidak bisa menyalahkan hal ini sepenuhnya pada Lino.
Tak lama, Lino pun memesankan grab car untuk Arsa sebagai bentuk tanggungjawabnya. “Panti asuhan tempat lo tinggal, namanya apa?” tanya Lino saat hendak mengetik alamat tujuan.
“Hah? Oh, Panti Asuhan Kasih Bunda (Putra),” jawab Arsa. “Tapi aku udah gak tinggal di panti, Lin,” lanjutnya.
Lino mengerutkan keningnya. “Terus lo tinggal dimana dong kalau bukan di panti?” herannya.
“Anu, aku tinggal di kontrakan.”
“Hah?!”
“Iya.”
“Kok? Sejak kapan?” tanya Lino bingung. Pasalnya Irvan dan Nuraga selalu saja membahas Arsa yang tinggal di panti asuhan. Tapi nyatanya, pria itu tinggal di sebuah kontrakan.
“Mmm, hampir dua tahun.”
“WHAT???” kaget Lino yang membuat Arsa juga sedikit terperanjat. “Jadi selama ini lo udah gak tinggal di panti?!”
Arsa mengangguk ragu. “Iya.” Lino pun ternganga lebar. Bukan main pria satu ini.
“Lo udah ketemu sama orangtua kandung lo?” tanya Lino lagi. Ia sungguh mendadak ingin tahu cerita kehidupan Arsa yang sebenarnya. Pria yang selalu diam saat ditertawakan oleh Irvan dan Nuraga karena tinggal di panti asuhan itu nyatanya sudah lama keluar dari sana.
Arsa menggeleng pelan, “Bapak ibuku udah di dalam tanah.”
Mampus! Lino salah menebak.
“Sorry.” Arsa mengangguk enteng. Lagian ia juga dapat memakluminya.
Tapi, rasa bersalah itu langsung mengerubungi relung hati Lino. Seketika ia teringat kepada kedua orangtuanya di rumah. Orangtua yang meski tidak peduli padanya, orangtua yang tidak mengerti perasaannya, dan orangtua yang ia tatap dengan tatapan sinis tadi, bagiamana jika mereka tiba-tiba tiada? Sungguh, Lino masih belum siap rasanya kehilangan.
Dan lagi, ia kira selama ini Arsa itu adalah anak yang dibuang, terbuang atau yang terpisah dengan orangtuanya karena satu dua hal. Tapi ia malah tak pernah berpikiran bahwa orangtua pria itu telah meninggal dunia. Padahal, teman-temannya yang lain sudah pasti menebak bahwa pria itu adalah seorang yatim piatu.
“Aku diadopsi.” Arsa memberitahu. “Eh? Emang ada yang mau adopsi anak pas udah gede?” tanya Lino heran.
Arsa mengangguk. “Ada. Aku buktinya.” Lino pun hanya mengangguk takjub. Baguslah kalau ada yang mau mengadopsi Arsa. Lagian juga tidak akan rugi mengadopsi anak seperti dia. Sudah tumbuh besar, baik hati, pintar, dan tidak pernah sombong.
Lalu tak lama, grab car pesanan Lino pun datang. Pria itu juga mengatakan bahwa ingin membuntutinya dari belakang. Biar ia tahu dimana tempat tinggal Arsa agar bisa mengantarkan sepeda itu nantinya.
Aliansi Garuda Melegenda
By Rofenaa
©ebbyyliebe