Tentang Resah

rofenaa
5 min readJan 28, 2022

Pukul lima sore lewat sepuluh menit, akhirnya mobil Van itu telah meninggalkan pelataran penginapan. Mereka semua telah duduk di bangkunya masing-masing dengan posisi yang nyaman. Bersandar pada punggung kursi, sambari memikirkan hal yang sudah mereka lewati bersama-sama selama dua hari ini.

Ah, banyak sekali kenangan yang telah tercipta hanya dalam kurun waktu dua hari tersebut. Dalam benak mereka selalu terputar kembali ingatan tentang bagaimana hilangya Arsa saat pertama kali sampai di sana. Belum lagi momen langka saat Irvan dan Arsa beradu otot. Hingga menangis berjamaah karena dihukum mengupas dan mengiris bawang merah di ruang tengah. Lalu, pengisian angket yang menguras emosi pada tiap-tiap mereka.

Ditambah lagi, tadi pagi para pemuda itu disuruh senam dengan Nuel sebagai instruktur dadakan. Siapa lagi yang menyuruh kalau bukan Yudhistira? Setelahnya, mereka pun sarapan bersama, menikmati makanan di atas meja yang sama layaknya sebuah keluarga. Berbincang menyelesaikan masalah, itu poin utama. Kabar tentang Pak Jeriko dan Arsaka pun tentu terdengar luar biasa dan tak terduga.

Di dalam mobil terdengar heboh. Beda sekali auranya saat berangkat kemarin. Hening, seperti di kuburan. Namun saat ini, lagu yang terputar pun tak terdengar jelas akibat gelombang suara yang saling berhimpitan. Terlebih gelak tawa Nuel saat mengingat Alvaro harus tersiksa sebab menyelesaikan bawang milik Nuraga kemarin hari. Belum lagi, Lino yang dengan menggebu-gebu menceritakan bahwa saat mandi tadi pagi, Nuraga tergelincir di kamar mandi. “Untung gue gak mati,” ucapnya saat itu. Sebab memang kebanyakan yang terpeleset di kamar mandi, nyawanya sudah tinggal seperempat. Kalau tidak koma, ya meninggal.

“Sa, ini sakit gak?” Nuel bertanya sembari menekan lebam yang ada di pipi Arsa. Lelaki itu meringis kuat saat Nuel benar-benar menekannya tanpa perasaan.

“Sakit, Nuel...” ringisnya. Nuraga yang duduk di belakang bangku Nuel pun menjitak kepala pria tersebut. Ada-ada saja kelakuannya!

“Gapapa, nikmatin aja proses kecewa lo ini,” gumam Lino sangat pelan. Ia memang sengaja duduk di samping Irvan kali ini. Lelaki yang diajak bicara olehnya itu sedari tadi hanya banyak diam dan memejamkan mata. Bukan seperti Irvan yang biasanya. Selain karena masih tidak enak badan, Irvan juga sudah terlanjur marah dan kecewa pada orangtuanya.

“Gak usah khawatir. Ada gue di samping lo. Ada kita,” lanjut Lino menenangkan kerisauan Irvan.

Thanks, gue cuma mau istirahat aja sebentar,” jawabnya tanpa berniat membuka mata. Lino pun mengangguk meski ia tahu bahwa Irvan tak akan melihatnya.

Saat masih satu jam perjalanan, mereka harus berhenti di sebuah masjid untuk menjalankan kewajiban bagi yang muslim. Kebetulan, Tatang beragama sama seperti Arsaka, Nuel, Lino, dan Senan. Sementara Tristan, dia itu orang Hindu. Bali adalah kampung halamannya. Sedangkan Yudhistira Protestan.

Selang dua puluh menit menanti di halaman masjid, usai sholat maghrib itu mereka pun melanjutkan perjalanan menuju kontrakan Arsaka yang tersisa sekitar satu jam-an lagi. Suasana di dalam mobil juga telah sepi. Tak seheboh tadi. Irvan bahkan sudah lelap sejak berpuluh-puluh menit yang lalu. Begitupula dengan Nuraga yang sudah termangap-mangap saat tidur di dalam mobil.

Selama perjalanan, rasanya Arsa sangat bahagia. Hatinya berbunga-bunga entah kenapa. Senang saja rasanya akrab dengan teman-teman Garuda Melegenda.

Ditatapnya ke samping, mata Nuel sudah mulai sayu. Mungkin ia mengantuk. Lelah karena sejak tadi telah terlalu banyak bicara. Sementara Senan, dia duduk bersama Alvaro di bangku paling depan, tepat di belakang sopir. Sayup-sayup bahkan Arsa dapat mendengar Senan yang bersenandung kecil. Meski begitu, suaranya terdengar merdu.

Karena mungkin sudah tak lama hujan, kali ini air langit turun dengan sangat deras. Kaca mobil sampai berembun sangkin lebatnya hujan saat ini. Yang tadinya tidur, kini sudah terbangun. Mendengar suara air yang jatuh berkawan deraman dan desauan mesin kendaraan di lampu merah itu, membuat kondisi terdengar kian bising. Pengendara roda dua yang nekat menembus perjalanan terlihat menggunakan mantel hujan. Mereka dengan berani menyalip beberapa mobil agar bisa start duluan saat lampu hijau nanti telah menyala.

Satu menit dihadang lampu merah, kini giliran arus mereka yang diberi lampu hijau pertanda jalan. Bunyi klakson pun langsung terdengar saling bersahutan memenuhi gendang telinga. Hal ini sudah sangat lumrah tentunya. Klakson panjang yang diberikan oleh orang tak sabaran pun kadang jadi terdengar menyebalkan. Meski sudah dimaklumi orang banyak, sebenarnya hal tersebut tetap membuat siapapun naik tensi.

Tapi kali ini, sepertinya tidak. Asing rasanya saat telah melewati persimpangan, ada suara klakson yang terdengar begitu panjang. Klakson tersebut, siapapun mungkin telah hapal. Suara yang diberikan oleh monster jalanan itu terdengar menggelegar. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Membuat siapapun jadi dilanda resah. Apalagi, hujan sangat deras. Jarak pandang jadi terbatas. Hanya samar-samar badan kendaraan yang terlihat. Perjalanan pun bahkan bisa dibilang terbantu hanya karena lampu jauh.

Namun, siapa sangka. Saat mereka hendak berhenti saja di rest area, resah mereka malah menjadi nyata . Mobil besar berwarna merah gelap dengan jumlah sepuluh roda itu, samar-samar terlihat tak terkendali dari arah yang berlawanan. Suasananya jadi begitu mencekam. Rapalan doa pun mendadak terdengar keras dari setiap bibir mereka.

Naas, selang beberapa detik, tanpa bisa dihindari lagi, mobil yang mereka tumpangi itu menjadi kendaraan yang pertamakali dihantam oleh tronton tersebut. Semuanya menjerit sakit. Pikirannya seolah mendadak mati. Satu-satunya yang ada dalam otak dan hati hanyalah harapan untuk tetap hidup, dan diberikan keajaiban oleh semesta.

Tuhan, jangan jemput mereka hari ini. Masih banyak mimpi yang belum tergapai. Masih ada bahagia yang ingin mereka cari.

“Var...” suara itu terdengar kecil memanggil. Namun yang dipanggil tak dapat menyahuti. Seolah ia tak lagi bisa mengeluarkan suara barang sedikitpun.

“Alvaro?” Lagi, suara itu terdengar lirih.

“VARO!!!”

Bentakan yang diiringi sentak pada tubuhnya itu pun membuat Alvaro tersadar. Napasnya terengah bukan main. Dadanya sesak sampai tak bisa lagi dijabarkan bahwa betapa ia sangat membutuhkan oksigen sebanyak mungkin.

“Lo kenapa?” Senan bertanya pada Alvaro yang tadinya tidur tersandar pada kaca jendela.

Dilihatnya, Alvaro begitu gemetar. Matanya memerah seperti menahan air mata. Ada sebuah ketakutan di sana. Hal itu tentu tak luput dari perhatian Tristan yang duduk di pinggir bangku dekat jendela yang satunya.

Suara Senan tadi juga membuat mereka yang tidur jadi terbangun. Terkejut dengan suara Senan yang mengalahkan bising kendaraan.

“Kenapa sih?” Nuel yang penasaran pun mengucek matanya. Bahkan ia sempatkan untuk berdiri demi mengintip Alvaro dan Senan yang duduk tepat di depannya.

“Alvaro kenapa?” tanya Arsa pada Nuel yang telah kembali duduk. Pria itu menggidikkan bahu. “Mimpi kali,” jawabnya. Arsaka pun hanya mengangguk-angguk. Wajar sih bila bermimpi. Ia saja dulu sering bermimpi saat tidur siang.

“Kenapa?” Hanya Senan yang tahu kisah kelam Alvaro. Hanya Senan yang paham bagaimana kesepiannya pria itu.

“Lo mimpi buruk?” sembari mengulurkan sebotol air minum, Senan bertanya. Alvaro pun hanya mengangguk lemah setelah meneguk air tersebut hingga habis setengah.

Senan hanya mengangguk-angguk paham. Mimpi buruk memang tak seharusnya untuk diceritakan. Makanya tak mau ia bertanya-tanya mimpi seperti apa yang membuat Alvaro sampai berkeringat dan menggeliat resah selama tidur.

Beberapa kali paha Alvaro Senan tepuk untuk menenangkan. Sebab lelaki itu masih saja terlihat gemetar. Bagaimana tidak? Ia bermimpi kalau mereka semua kecelakaan! Mobil ini dihantam oleh monster jalanan!

Tapi yang lebih parahnya, mimpi itu seolah menjadi sebuah gambaran bagaimana tragedi kecelakaan tunggal yang menimpa keluarga ibunya tiga tahun silam. Tragedi yang telah merengut nyawa kakek neneknya itu pula lah, yang membuat Alvaro nyaris menjadi seorang piatu!

“Gapapa, gapapa... ” Senan berulangkali menenangkan Alvaro hingga lelaki itu kembali tenang.

Anak yang malang,” batin Tristan kemudian.

Aliansi Garuda Melegenda
Karya Rofenaa

©ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet