Tentang Rindu dan Penyesalan

rofenaa
11 min readAug 3, 2022

--

Pukul 17.00 WIB. Penerbangan yang memakan waktu sekitar 1 jam 50 menit itu berjalan lancar. Sang gadis benar-benar seperti sedang berada di dalam drama Korea yang begitu berat ketika menghadapi permasalahan asmara. Pesawat delay, tangannya yang diperban tersenggol turis, kakinya yang terinjak anak kecil, di dalam pesawat malah duduk bersebelahan dengan ibu-ibu kepo, belum lagi sesampainya di Jakarta ia harus dihadapi dengan kemacetan. Lengkap sudah penderitaanya hari ini. Tapi tak masalah. Jika ini adalah jalannya menempuh dosa-dosa terhadap Adibya, Najmi akan terima dengan lapang dada.

Hingga satu jam kemudian, langkah lelahnya yang menginjak lantai rumah sakit itu disambut perasaan kalut. Sebab berbagai macam tatapan tengah ia terima ketika masuk ke dalam ruang rawat inap yang dihuni oleh Adibya.

Kala netranya beradu dengan milik sang Papi yang tadinya tengah bicara serius dengan Aswin si besan, tatapannya itu terlihat sama persis dengan apa yang Ghandi layangkan ketika pertama kali melihat Najmi di stasiun kereta. Lelaki yang menjemputnya itu mengerang marah karena telah dibohongi oleh adiknya terkait kabar. Apanya yang oke disaat jidat Najmi tampak tak baik-baik saja? Apalagi dengan pergelangan tangan kiri yang dibalut perban panjang seperti itu, di mana letak okenya? Najmi jelas sedang tidak baik-baik saja.

Wajah sembab yang tak lagi tertutup masker dan kacamata itu, dihiasi dengan rambut kusut. Matanya yang merah dan bengkak, melangkah dengan sedikit terpincang, pula jidat dan tangan yang juga terdapat perban, lengkap sudah penampilan gadis itu untuk turut dikasihani.

“Najmi?” Obsidian gelap mereka beradu. Ada nada yang tak dapat gadis itu jabarkan kala rungunya mendengar suara parau sang pemuda. Getaran rindu milik Najmi menjadi satu dengan rasa bersalah dan takut kehilangan. Sementara dari sorot Adibya, Najmi tahu, bahwa sebenarnya, pemuda itu juga tengah menaruh rindu kepadanya. Namun tatapan itu juga menyiratkan rasa kecewa yang tak Najmi tahu seberapa dalamnya ia terluka.

“Oh, jadi kamu yang namanya Najmi?” Suara dari sosok lain itu menginterupsi. Bahkan langkah Khaffa yang hendak menghampiri Najmi mendadak terhenti.

Najmi hanya diam, lalu mengalihkan pandangnya menuju sumber suara. Dia, wanita itu. Yang Najmi curigai sebagai selingkuhan Adibya.

PLAK!!!

Semua netra menatap kaget. Tensi yang sedari tadi tak surut dalam emosi itu akhirnya meledak dengan satu tamparan yang Aini hantarkan untuk Najmi.

“Aini!” “Mba!” “Najmi!”

Gelombang suara tersebut saling berhimpitan. Memenuhi ruang VIP, hanya karena kehadiran seorang Najmi.

Najmi lagi-lagi hanya diam. Pipi kanannya yang memanas sama sekali tak ia pedulikan. Karena pada dasarnya, dia memang salah.

“LO APA-APAAN, HAH?!” Ghandi yang berdiri di belakang Najmi tentu tak terima kala adiknya di tampar oleh orang lain di depan mata kepalanya sendiri.

Yang dibentak hanya tertawa. “Kenapa? Kamu nggak terima adikmu saya tampar?”

“Jelaslah! Pake nanya lagi lo!” Kesabaran Ghandi yang setipis benang itu memang tak pernah memikirkan ultimatum apa yang akan ia terima setelahnya.

“Kalau gitu, kita sama. Saya juga nggak terima adik saya babak belur karena kamu.”

Aswin dan Khaffa masih memilih diam menyaksikan putra putri mereka yang tengah berperang. Sementara di atas ranjang rumah sakit, Adibya menatap dengan sorot penuh kekhawatiran. Namun apa daya, dia masih belum pulih sepenuhnya.

Lantas, ketika Ghandi ingin menjawab ucapan Aini barusan, ia menjadi terdiam seribu bahasa. Bagaimana tidak? Netranya itu menangkap Najmi yang tiba-tiba berlutut di hadapan Aswin dan Khaffa dengan susah payah.

Gadis itu, mengabaikan distraksi dari Aini dan Ghandi.

Arsyi, Anggun, dan Adibya pun juga sama terkejutnya kala menyaksikan gadis itu berlutut di hadapan mereka semua. Najmi sedang apa?!

“Maaf, aku salah. Aku udah nggak dewasa dalam menghadapi suatu masalah. Mau dicari ke manapun letak kebenaranku, nyatanya emang nggak akan ada. Karena yang salah di sini adalah aku.” Gadis itu menjeda kalimatnya sejenak. “Aku juga bener-bener minta maaf ke Papi dan Bapak. Karena kalian sebagai orang tua, harus terpaksa terlibat dalam masalah yang dibesar-besarkan ini.” Najmi menunduk dalam aksi berlututnya. Ia memohon maaf sebesar-besarnya pada kedua orang tua yang terpaksa ikut disusahkan karena ketidakdewasaannya ini.

“Maafin aku, Pi, Pak. Aku janji nggak bakal pernah ngulangin kejadian ini. Aku beneran janji bakalan lebih dewasa lagi dalam bertindak. Tapi aku juga mohon, jangan pisahin aku sama Mas Adib. Aku bener-bener nggak mau…,”

Najmi memohon dengan teramat sangat diiringi isak tangisnya yang mengisi ruangan. Panas pada pipinya, ngilu pada tangan dan lututnya, hingga pening pada kepalanya, sama sekali tak ia pedulikan. Sebab yang penting untuknya saat ini adalah meminta maaf pada seluruh orang.

“Najmi, berdiri.” Itu suara Adibya. Sang pemuda meminta Najmi untuk tidak berlutut seperti ini. Namun memang dasarnya gadis itu keras kepala, ia tetap saja tak bergeming di tempatnya. Gadis itu bahkan malah kembali menyerongkan tubuh untuk memohon maaf pada sosok lain.

“Mba, aku juga minta maaf karena udah berburuk sangka sama Mba. Aku akui, aku salah. Aku salah dalam menempatkan rasa cemburuku. Maaf kalau aku juga udah berlebihan banget dan bikin harga diri Mba ngerasa diinjak-injak atas tuduhan nggak berdasarku itu.”

“Maksudnya?”

Oh, Najmi. Padahal semua orang sudah menutupi apa alasan yang sebenarnya dari Aini. Namun gadis itu sendiri yang memberitahunya.

Najmi pun mendongak memberanikan diri. “Saya kira di kafe itu, Mba Aini selingkuhannya Mas Adib,” cicitnya kecil. Sangat kecil. Namun jelas sekali terdengar oleh tiap rungu insan yang ada di ruangan ini.

Dikira akan marah pada Najmi, Aini malah bertanya skeptis pada Adibya. “Kok kamu nggak bilang ke aku kalau ini alasan kalian berantem?!”

Yang ditanya hanya terdiam. Pemuda yang hendak bangkit dari tidurnya itu ditahan oleh sosok Arsyi. “Jangan turun, di sini aja.” Si Sulung memperingati. Karena memang Adibya masih belum boleh banyak bergerak.

“Jawab aku, Adib.” Aini yang merasa dibohongi itu pun meminta penjelasan. Sebab yang ia kira, Adibya babak belur hanya karena sedang ribut dengan Najmi. Dan Ghandi malah ikut sakit hati hingga berakhir ikut campur dengan cara menghajar adiknya. Ia kira, Najmi kabur hanya karena masalah sepele. Namun ternyata ini semua tak luput dari kehadiran dan campur tangannya secara tak sengaja.

“Najmi, saya minta kamu berdiri.” Bukannya menjawab pertanyaan sang kakak, Adibya malah kembali meminta Najmi untuk menghentikan aksi berlututnya tersebut.

“Berdiri, Nak.” Lantas, ketika Khaffa menarik bahu sang anak untuk segera berdiri, gadis itu membenamkan raganya dalam pelukan sang Papi. Dipeluknya begitu erat sosok tersebut hingga menangis tersedu-sedu. Sesaknya ia lepaskan begitu saja dalam napas yang menderu. Dia, juga sakit.

Puluhan detik gadis itu menangis, maka ada belasan kata maaf yang ia ucapkan secara terus menerus. Najmi benar-benar menyesal dalam tindakannya kali ini. Ia juga memohon dengan teramat sangat untuk tidak membatalkan rencana pernikahan mereka.

“Kamu terlambat, Najmi.” Ya, di tahu bawah dirinya sudah terlambat beberapa jam dari tenggat toleransi yang Papinya berikan. Namun apakah ia tidak bisa memohon? Sungguh, Najmi rela melakukan perintah apapun asal Adibya tak direnggut paksa dari dirinya.

“He deserves better?” gumam Najmi bertanya penuh putus asa.

“Of course, yes.” Tentu Khaffa menjawab dengan nada pasti. Sebab, Adibya memang pantas mendapatkan perempuan yang lebih baik dari sosok anak gadisnya sendiri. “Tapi Adibya tetap maunya kamu.”

Lantas, dengan suara parau karena lelah menangis sedari pagi, Najmi mengendurkan pelukannya. Dia bingung harus bereaksi seperti apa untuk kalimat Papinya barusan. Bolehkan Najmi berharap banyak?

“Maksud Papi?”

“Jawab pertanyaan Papi dulu. Jidat sama tangan kamu kenapa?” Khaffa sengaja mengalihkan pembicaraan mereka. Ia menatap lamat pada kondisi anak gadisnya.

“Pi,” ucap Najmi yang juga enggan untuk menjawab pertanyaan itu.

“Jawab, Najmi.” Bahkan, semua orang termasuk Ghandi juga ikut penasaran. Dia juga belum diberitahu akan hal itu meski telah bertemu lebih dulu.

Sementara di sisi lain, netra sang pemuda masih bergetar. Dadanya sesak sekali melihat Najmi yang seperti ini.

Alam raya, kenapa perempuannya bisa terluka? Hati Adibya bahkan ikut berdenyut ngilu kala melihat kekasih hatinya di dera derita dan air mata.

Najmi Desra, sama kacaunya seperti dia.

“Kesandung.”

“Bohong!“ Ghandi memotong cepat. Karena menurutnya mana mungkin tersandung bisa sampai jadi seperti ini?

Namun Najmi sedang malas meladeni sang kakak. “Terserah mau percaya atau nggak sama omonganku. Tapi aku beneran kesandung dan kejedut pintu waktu buru-buru ke kamar mandi setelah baca pesan dari Papi.” Khaffa langsung mengerti. Lantas sang anak dipeluknya kembali dengan begitu erat. Ia tiba-tiba merasa bersalah pada putrinya.

“Maaf,” ucapnya kemudian.

Najmi hanya diam. Ia semakin merasa bersalah karena sudah membuat sang Papi berucap maaf kepada dirinya di depan banyak orang. Ia juga semakin merasa bersalah karena sedikit banyak telah mencoreng nama baik seorang Khaffa Desra.

Lantas, ketika Najmi merenggangkan pelukannya dari sang Papi, ia mendekatkan langkah pada sosok orang tua satu-satunya yang Adibya punya.

“Pak, aku tau memang banyak perempuan di luar sana yang lebih sempurna dari seorang Najmi Desra. Aku juga tau bahwa ada banyak puan-puan jelita yang menaruh hati pada anak Bapak. Tapi, Pak…, tolong kasih aku satu kesempatan lagi. Izinkan aku untuk kembali berproses dan menyempurnakan diri. Tolong, izinkan sosok Najmi Desra ini bergabung untuk menjadi bagian keluarga besar Lofarsa.” Najmi memohon dengan seluruh tenaga yang tersisa.

“Pak, saya nggak mau berburuk sangka. Tapi mungkin kayaknya nama saya juga sudah dicap cukup jelek di keluarga Bapak. That’s okay, I won’t mind it. Saya bisa buktiin bahwa seorang Najmi Desra ini juga layak untuk bersanding dengan sosok Adibya dan menjadi menantu terakhirnya Bapak. Saya mohon…. ” Najmi meraih tangan Aswin dengan tangan kanannya. Ia salami tangan sang calon mertua demi mendapat restu yang sebenar-benarnya.

“Najmi, udah. Cukup. Kamu juga butuh istirahat.” Di ranjang sana, Adibya kembali bersuara. Ia sungguh merasa bersalah karena sudah membuat Najmi bertekuk lutut dan mengemis restu pada keluarganya itu.

Aswin menatap lekat pada obsidian sang calon menantu. Anak itu begitu bergetar ketika menyalami dirinya. Dan ia akui, mau seberapa besar kesalah Najmi kali ini, anak itu berani mengakui seluruh kesalahannya. Bahkan, ia pun berani menurunkan egonya demi memohon ampun dan meminta maaf sampai bertekuk lutut seperti tadi. Dan sebagai orang tua, tentu Aswin juga ikut teriba menyaksikan betapa bersikukuhnya seorang Najmi Desra dalam mempertahankan hubungan.

“Iya, saya maafkan dan izinkan.”

Lantas, tanpa memikirkan masih adanya pertanyaan Aini yang belum terjawab, masih belum sempatnya Najmi meminta maaf pada sosok sang pemuda yang begitu baik hatinya itu, usai mendengar jawaban dari sang kepala keluarga Lofarsa, Najmi menghela napas lega. Beban berat pada dadanya seolah di angkat tanpa sisa. Dan beberapa detik setelahnya, raga sang gadis meluruh ke lantai. Najmi Desra telah kehilangan kesadarannya dengan tampak begitu dramatis.

Semua mata kembali membola. Terlebih Adibya. Lelaki itu sampai terperanjat hingga hendak segera turun membantu Najmi. Namun raganya itu sama sekali tidak mendukung. Efek tendangan Ghandi tadi masih begitu terasa sakit. Untung saja tulang dan organ dalamnya tidak apa-apa. Ditambah lagi dengan asam lambungnya yang naik karena tidak masuk makanan apapun selama 38 jam lamanya, masih meninggalkan perih yang begitu terasa.

“Bawa ke UGD, buruan!” Sang Papi bersuara. Ghandi pun segera menggendong sang adik dengan penuh kehati-hatian. Di sampingnya, Khaffa dan Anggun turut mengikuti. Lantas, dengan lekas ia berjalan cepat menuju UGD. Yang untungnya para perawat di sekitar sana sedang membawa sebuah brangkar kosong. Maka dari itu, ia letakkan tubuh Najmi di sana demi segera mendapatkan pertolongan pertama.

Gadis itu, telah melewati masa sulitnya. Sebab begitu indra pendengarannya menangkap hal yang paling ia inginkan hari ini sudah terpenuhi. Maka raga lelahnya itu harus ia istirahatkan secara spontan.

Semua yang membuatnya menangis dan sesak bukan kepalang telah dicabut sampai ke akar. Bahwa keluarga Lofarsa, masih mau mempertahankan statusnya sebagai calon menantu terakhir dari keluarga tersebut.

“Najmi enggak akan kenapa-napa, kan, Pak?” Adibya di ruangannya bertanya risau. Hatinya bergemuruh bukan main. Rasa khawatirnya begitu memuncak hingga ke ubun-ubun.

“Kamu sendiri, kan, yang bilang kalau Najmi itu perempuan tangguh? Jadi jangan khawatir. She have get better soon.” Aswin menjawab dengan raut tenang. Sementara Aini masih berdiri dengan wajah sedikit kesal.

“Kamu, tuh, juga harus pikirin kesehatan kamu, Adib. Besok sore jadwalmu ke Belanda. Tapi malah jadi baringan di sini.” Aini kembali bersuara mengimbuhi. Wanita itu mengingatkan jadwal sang adik yang seharusnya berjalan dengan baik-baik saja sampai waktu keberangkatan tiba, malah menjadi tersendat seperti ini.

Adibya hanya menghela napasnya lelah.

“Iya. Besok pagi kalau udah mendingan, kan, kata dokternya udah boleh pulang. Jadi sorenya bisa berangkat ke Belanda. Dan kamu bakal lanjutin pemulihan di sana aja. Semua udah dibantu urusin sama Arrisa, kok, dari Manado.” Arsyi si sulung juga ikut bersuara.

Haruskah ia tetap berangkat kala raga dan hatinya masih dalam keadaan yang tidak baik-baik saja? Adibya meragu luar biasa.

“Sekarang jelasin sedetail-detailnya tentang masalah kamu dan Najmi yang melibatkan aku.” Aini menagih penjelasan yang sejelas mungkin. Ia ingin turut mengerti tentang seluk beluk permasalahan ini. Sebab, besok pagi wanita itu diwajibkan balik ke Yogyakarta. Banyak pasien dan pekerjaan yang telah menanti di sana.

Kemudian, waktu bergulir. Adibya mencoba menceritakan secara detail dengan pemilihan penyampaian yang lembut tanpa menyudutkan pihak manapun. Baik itu Aini, Ghandi, maupun Najmi sendiri. Sebab ia telah berjanji untuk menjaga reputasi dan harga diri calon istrinya tersebut.

“Coba sekarang kamu Mba tanya.” Tiba-tiba raut Aini berubah semakin serius. “Apa sih yang selama ini kamu lihat dari seorang Najmi Desra? Punya apa dia sampai bikin kamu kayak orang gila gini?”

Adibya hampir terkekeh hambar kala mendengar pertanyaan tersebut. Sebab, pertanyaannya memang benar-benar sama persis atas pertanyaan yang telah disampaikan oleh sang Bapak tadi siang di depan Khaffa.

“Najmi punya effort. Selain usahanya yang keras, dia juga punya hati yang tangguh buat jalanin hari-harinya yang begitu berat.” Adibya mulai menjawab sesuai apa yang juga telah ia lantunkan tadi siang.Dan fakta lapangannya memang begitu. Riset Adibya Lofarsa telah membuktikan bahwa seorang Najmi Desra adalah wanita yang kuat ketika menghadapi segala rintangan dan guncangan yang menghadang. Gadis itu benar-benar mampu bertahan di tengah kecamuk badai kehidupan.

“Sedangkan yang Adib lihat dari sosok Najmi Desra, dia adalah perempuan yang selalu ceria, dan mau menerima saran. Dia juga mau belajar banyak dan merubah dirinya demi menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Alih-alih merubah diri demi orang lain, dia ngelakuin itu ya buat dirinya sendiri.”

Lantas semua terdiam mendengarkan. “Adib tau, sangat tau bahkan. Bahwa Najmi masih terlalu banyak kurangnya di mata kalian. Tapi, Pak, Mba, manusia itu enggak ada yang sempurna. Bahkan kita pun tidak akan pernah merasa sempurna. Sebab semua orang pasti selalu haus akan suatu nikmat. Selalu merasa kurang dan ingin menjadi paket komplit. Kita ini punya kekurangannya masing-masing.”

“Untuk Bapak dan Mba-mbanya Adib, kalian pasti sudah sangat tau konsep membangun rumah tangga itu gimana. Yaitu yang salah satunya adalah dengan saling mengisi kekurangan dari pasangan masing-masing.” Karena menurut Adibya, akan sangat mustahil rasanya kala manusia sama sekali tak memiliki cacat cela. “Begitupun dengan apa yang terjadi antara aku sama Najmi. Kita sama-sama punya kekurangan yang bisa diisi dengan kelebihan masing-masing.”

Maka, pada bagian yang mana lagi Adibya harus mencari ketidakpantasan seorang Najmi untuk disahkan di depan saksi?

“Adib rindu Najmi. Aku boleh jenguk calon istriku itu, kan, nanti?”

Arsyi dan Aini pun mau tak mau harus menyanggupi.

Bising dari suara benda persegi panjang yang terpampang pada dinding nan putih itu mengusik tidur pulas seorang gadis. Sayup-sayup indranya menangkap bahwa benda itu menyebutkan berita tentang penerbangan pesawat.

Lantas, setelah mendegar nama Adibya Lofarsa — si salah satu penerima beasiswa S2 ke Belanda disebutkan oleh pengisi suara berita — kantuk Najmi direnggut paksa. Bahkan ia sampai langsung terduduk ketika baru sadar setelah hampir 24 jam terbaring di ranjang rumah sakit.

“Sekarang tanggal berapa?!” Ghandi yang tengah memeriksa cairan infus itu terperanjat kaget. Najmi benar-benar membuat Ghandi syok bukan kepalang.

“10 November. Kenapa?” Bukannya menjawab lagi, Najmi malah dengan lekas menarik jarum infus yang tertancap pada tangan kanannya.

“Najmi, lo mau ngapain?!” Ghandi tak kalah cepat menahan pergerakan sang adik yang tentunya memberikan perlawanan.

“Gue harus ketemu Mas Adib, Ghandi! Gue harus ketemu!” Sang gadis mengerang dengan mata merah dan tubuh lemahnya.

10 November, adalah hari keberangkatan Adibya ke Belanda demi mengenyam pendidikan master di Negeri Kincir Angin tersebut. Seingatnya terakhir kali sadar, langit telah gelap. Maka, sang pemuda pasti telah pergi meninggalkan tanpa menunggunya siuman. Bahkan, Najmi belum sepat meminta maaf pada lelaki itu. Setega itukah seorang Adibya Lofarsa? Begitu pikirnya.

“Mas Adib mana, Ghandi?! Mas Adib mana?! Gue mau ketemu Mas Adib!”

“Najmi, please, stop! Adib udah nggak ada di sini!”

Perasaan itu begitu campur aduk kala sang gadis mendengar Ghandi mengucapkan hal tersebut dengan nada yang sedikit terpancing emosi. Adiknya itu selalu saja demikian ketika ia siuman setelah pingsan karena kelelahan akibat memforsir diri sendiri dalam hal pekerjaan.

Kini, Najmi yang tersentak hanya terdiam sembari memandangi layar televisi yang terpampang di ruang rawat inap VIP yang ia tempati. Ruangan ini, ruang yang sama kala kabar buruk itu ia terima, dengan vibes yang tak ada ubahnya sedikitpun.

Ternyata, hari ini bukan lagi 10 November 2022. Melainkan sudah tahun berikutnya, 10 November 2023.

Seluruh penjuru Indonesia dan Belanda kembali dilingkupi suasana duka. Dua negara tersebut berbelasungkawa. Mereka, tengah memperingati satu tahun tragedi jatuhnya pesawat maskapai Neosantara NS66 penerbangan Jakarta menuju Amsterdam di perairan Teluk Benggala. Yang mana, di antara 196 orang penumpangnya, turut mengangkut 14 orang penerima beasiswa Netherlands Scholarship Program.

Maka air mata Najmi Desra tak lagi dapat terbendung kala nama Adibya Lofarsa kembali disebut-sebut pada hari yang penuh duka.

Sakitnya pada tahun lalu, kembali terulang pada hari ini. Sang pemuda yang sangat ia cintai, sayangnya tak di sisi.

Narasi 39 ; Lofarsa

Karya Rofenaa

by ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet