Pintu ruang rawat inap itu terbuka dengan diiringi langkah yang juga tergesa. Seorang dokter dan dua perawat masuk dengan alat tempur mereka masing-masing. Sementara, di paling belakang ada Ghandi yang menenteng sekantung kudapan dan beberapa botol minuman. Ia tentu kaget melihat pasangan tersebut berpelukan sambil terisak.
Ini … pertama kalinya Ghandi Desra melihat seorang Adibya Lofarsa menangis hingga tersedu-sedu. Ia tak pernah menyangka, bahwa lelaki yang tabahnya luar biasa itu … bisa sangat sekacau ini.
Tapi kenapa bisa?
“Pasien kita periksa dulu, ya, Buk.”
Lantas Najmi pun terpaksa merenggangkan kembali rengkuhannya. Ia usap wajah penuh ait mata Adibya dengan penuh kelembutan dan kecupan sayang di dahi. “It’s okay. Sebentar aja,” ucap Najmi yang jemarinya tak dibiarkan lepas dari genggaman Adibya.
“Kenapa?” tanya Ghandi hanya dengan gestur tubuhnya. Ia memainkan lirikan mata dan alis saat memandangi Najmi. Namun adiknya itu hanya menggeleng kecil dan mengerjapkan mata. Pertanda Ghandi Desra harus sabar menanti detail cerita.
One Hour Ago …
Adibya Lofarsa ketakutan luar biasa. Sesak pada dada yang ia lirihkan berulang kali membuat Najmi dengan lekas menegakkan tempat tidurnya. Ia bawa sang suami ke dalam posisi duduk. Diusap-usap dada Adibya dengan harapan sakitnya dapat berkurang.
“Sakit banget, ya, Sayang?” tanyanya lembut, menutup kecemasan. Najmi dengan setia beri ketenangan pada Adibya yang kesulitan bernapas dan mulai meringis kesakitan.
“Yang tenang, Mas Adib. Tarik napasnya dalam-dalam … terus buang.” Maka memori sang lelaki seolah ditarik pada momen dirinya yang sering kali tenangkan Najmi setiap kambuh.
“Jangan panik, ya? Ada aku.” Namun Adibya kian memberi gelengan. Ini adalah trik miliknya. Tetapi kenapa kini malah Najmi yang melontarkan itu semua kepada dirinya?
“Tarik napasnya yang bener, Sayang. Terus buang pelan-pelan, biar denyut jantungnya bisa balik normal lagi.” Adibya rasanya ingin tergugu. Apa yang sesungguhnya terjadi dengan mereka?
“Enggak. Nggak mau …” lirih penolakan terdengar sembari diiringi gelengan gusar.
“Mas, kamu harus ikutin apa yang aku bilang.” Namun Najmi tetap bersikukuh agar suaminya menuruti seluruh titah sebelum dokter ataupun perawat yang bertugas datang ke ruangan ini.
“Udah. Semuanya udah cukup. Kamu jangan di sini, Najmi. Jangan. Gimana pun saya sekarang, kamu nggak boleh ikut. Jangan, ya, Dek. Masih ada Papi dan Ghandi. Maafin Mas, ya? Maaf udah pergi ninggalin kamu.”
Hati Najmi berdenyut sakit. Adibya sudah melantur ke mana-mana.
“Apa sih, Mas? Omonganmu ngelantur banget, ih!” Najmi nyaris mencubit lengan suaminya kalau tak langsung ingat bahwa sang tuan tengah kesakitan. “Nggak ada yang pergi. Nggak ada yang ninggalin dan tertinggal. Aku di sini sama kamu tuh memang udah seharusnya. Kamu mending sekarang fokus tenangin diri, Mas Adib.”
Ada apa sebenarnya dengan Adibya? Mengapa ia terlihat sangat terpukul dan syok begini? Seperti bukan dirinya yang biasa. Najmi bahkan nyaris tak mengenal sosok suami yang selama ini tinggal bersamanya selama beberapa tahun belakangan.
“Jangan kayak gini, Mas Adib. Aku sedih lihatnya …” Najmi perlahan beri rengkuhan ringan pada suaminya. Ia betulan ingin menangis saat menyaksikan Adibya yang terlihat seperti orang lain— Atau idak.
Tidak orang lain. Bahkan Najmi seolah melihat dirinya dahulu yang pertama kali terbangun setelah kehilangan sang Mami.
“Kamu kenapa, Mas Adib? Jangan bikin aku khawatir kayak gini. Aku takut …” lirihan Najmi perlahan mengundang linangan air mata. Netranya memanas. Namun sebisa mungkin ia tahan agar tak jatuh dan berakhir memperumit situasi.
“Saya juga takut, Najmi. Takut kalau ini cuma mimpi buruk saya sebelum pergi ninggalin kamu.”
Namun bukannya menjawab, Najmi malah mengerang pelan. Ia sungguh turut ketakutan. Ia pun tidak mengerti mengapa Adibya mengulang kalimat dengan makna yang sama.
Padahal, dia lah yang dahulu sering kali membahas tentang umur dan kematian. Tentang siapa yang terlebih dahulu akan berpulang dan berkahir meninggalkan. Lantas mengapa dirinya malah menangis kala Adibya berlaku seolah ia akan benar-benar pergi meninggalkan dunia?
“Ini bukan mimpi, Mas Adib. Kamu nggak bakalan pergi ke mana-mana,” sanggahnya kemudian mengurai dekapan. Ia cengkram pelan kedua pundak Adibya demi beri keyakinan. “Lihat, aku nggak bakalan hilang. Aku nggak bakalan ditinggal ataupun ninggalin kamu. Aku di sini, Mas Adib … sama kamu.” Lantas kedua telapak tangan Adibya pun Najmi bawa menuju pipinya. “Usap mukaku. Panas, kan?” tanyanya meminta pengakuan.
“Aku nyata, Mas Adib. Aku hidup. Aku ini Najmi Desra, istri kamu di dunia nyata. Bukan di mimpi ataupun bayang-bayang semu dan fatamorgana yang kamu bilang.”
Adibya tercenung dalam. Pandangannya yang masih berputar ia coba untuk fokuskan menatap raut sang istri yang berada di depan mata. Dirabanya rupa Najmi Desra dengan khusyuk. Ia rasakan semuanya bahwa kali ini bukan lah mimpi.
Tapi tidak mungkin. Rasanya masih begitu nyata dengan apa yang sudah ia dan Najmi lalui belakangan ini.
“Pusing …” ringisnya yang kemudian jatuhkan kening ke pundak sang istri. “Saya bingung …”
Hela napas berat Najmi embuskan. Ia elus kepala belakang suaminya dengan penuh sayang. “Apanya yang kamu bingungin? Bagian mana yang bikin kamu bingung?”
“Kamu.”
Hening tercipta, dengan debar jantung yang kian memompa cepat. “Kamu yang enggak saya mengerti kenapa masih setia di sini? Bahkan kamu terasa sangat nyata, kayak sebelum-sebelumnya.”
Maka Najmi kian kalut. Pikiran negatif tentang Adibya yang terkena gangguan psikis secara tiba-tiba membuat gadis itu merasa sesak. Ia benar-benar takut kalau Adibya harus melalui hari-hari berat seperti yang pernah ia lalui dahulu.
“Mas … perlu bukti yang kayak gimana lagi biar aku bisa bikin kamu percaya?” lirihnya tepat di telinga Adibya. “Ini kenyataan, Mas. Bukan mimpi.” Namun lelaki itu masih bungkam, tenggelamkan wajahnya kian dalam sembari memejamkan mata. Ia hirup aroma khas istrinya yang masih tercium sama.
“Kamu habis mimpi buruk, ya? Kamu mimpi buruk yang kayak waktu itu pernah kamu ceritain ke aku?” Najmi bertanya hendak sembari memberi jarak. Tetapi Adibya malah kian eratkan dekapannya.
“Enggak tau, Dek. Mas nggak tau …” Bahkan Adibya pun masih meragu, percayanya telah goyah. Ia tak mau lagi banyak berharap. Sebab semua yang ia lalui belakangan ini sungguh terasa begitu nyata.
Tarikan napas yang begitu dalam Najmi lakukan. Sekarang ia mulai paham, bahwa Adibya benar-benar ketakutan seperti malam itu.
“Coba sekarang aku tanya,” ujar Najmi yang paksa renggangkan eratnya dekapan Adibya. “Kamu inget nggak kenapa bisa ada di sini?”
Pejaman erat demi mengusir pening yang tak kunjung pergi pun Adibya lakukan sembari mengingat tragedi apa yang membuatnya bisa berada di sini.
“Kecelakaan. Saya ditabrak tepat di TKP tragedi tabrak lari Abbas waktu itu. Iya, kan?”
Najmi tak lagi tahan. Ia tampar pelan kedua pipi Adibya secara bersamaan hingga membuat lelaki itu tersentak dan meringis. “Kerasa sakit, nggak?” tanyanya kemudian. “Ngawur banget bilangin kamu sama Abbas kecelakaan. Orang anak kita aja lagi tidur enak di rumah.”
Maka kini, giliran Adibya yang meremat rambutnya sendiri. Ia merasa begitu frustasi membedakan antara kenyataan, mimpi, delusi, dan halusinasi. Sebab, terakhir kali yang ia ingat, Najmi menangisi tempat tamatnya riwayat hidup Abbas, dan dirinya yang tersambar kencang oleh sebuah kendaraan saat menyeberangi jalan.
“Listen!” Najmi lantas menarik paksa tangan Adibya yang meremat rambutnya sendiri. Ia genggam kedua pergelangan tersebut dengan cukup kuat, lalu melanjutkan ucapan. “Kamu di sini itu karena tiba-tiba pingsan di lobi hotel. Kamu kena vertigo waktu mau buru-buru flight dari Samarinda ke Jakarta jam 9 malam tadi. Paham?” Najmi kemudian membawa wajah Adibya untuk ia tatap lebih lekat meski sorot sang suami masih tak bisa fokus membalas tatapannya.
“Semua yang kamu bilang dari itu cuma pikiran tentang mimpi buruk kamu yang masih melekat, Mas! Kamu udah tidur 4 jam. Sekarang udah mau subuh. Tidurmu masih dipengaruhi bius. Cukup, ya, halusinasinya? Jangan kayak gini?”
Namun bukannya semakin tenang, Adibya malah menatap Najmi dengan tatapan penuh keputusasaan.
Jadi di sini … siapa yang sesungguhnya tengah memanipulasi pikiran masing-masing? Dirinya yang bermimpi, atau memang Najmi yang tengah asyik bermain dengan halusinasi?
Kalaupun ia berakhir disuruh untuk memilih, maka pasti ia akan memilih bergabung dalam permainan halusinasi yang Najmi jalankan. Bawa Adibya masuk ke dunia yang semuanya masih terasa utuh seperti dulu. Ia ingin hidup tenang seperti sedia kala.
Tapi … ia tak bisa. Ia tak rela biarkan Najmi Desra terbelenggu di dalam lubang yang sama. Ia harus bisa menjadi penyemangat sang istri. Pikiran tentang mimpi dan delusi sialan ini harus lekas dibumihanguskan.
Namun yang Adibya dapati malah bayang-bayang kesedihan yang kembali menghantam. Hatinya berdenyut keras kala mengingat setiap potong memori yang telah menimpa keluarga mereka. Ia masih terbayang bagaimana pilunya isak tangis Najmi dan diamnya gadis itu menahan amarah beserta rindu yang menjadi satu.
Maka luruhlah semua yang Adibya tahan. Ia meraung demi lampiaskan seluruh rasa lelah dan bingung yang dirasakan belakangan ini. Kunang pada matanya bahkan tak lagi dipedulikan. Pusing pening perih pedih tak Adibya hiraukan barang sedetik. Ia lebih memilih untuk menguraikan seluruh air mata duka dan kesedihan yang selama ini ia tahan.
Sesak pada dada kian menjadi. Adibya terisak dan tersedu-sedu dalam derainya.
Lantas, Najmi yang bingung dan bercampur kaget pun hanya bisa memeluk erat sAdibya sembari mengecupi pelipis dan puncak kepalanya berulang kali. Ia ikut menitikkan air mata kala mendengar betapa pilunya tangisan seorang suami dan seorang ayah. Adibya bahkan meracau tak jelas tentang kejadian-kejadian yang tak ia mengerti.
“Saya sedih, Najmi. Saya takut …” Hal itu berulang-ulang ia rapalkan. Najmi sampai bingung harus bagaimana lagi menenangkan suaminya ini. Bahkan dokter atau perawat pun masih belum datang.
“Sesak … bernapas pun rasanya berat banget,” racaunya yang membuat Najmi kian khawatir.
“Nggak ada yang perlu kamu takutin, Mas Adib. Buktinya aja kamu masih di sini sama aku. Nggak ada yang hilang, kan? Nggak ada yang pergi.” Namun Najmi tak kunjung mendapati Adibya yang meredakan tangisnya.
Sampai pada saat pintu terbuka … di situ lah dokter dan para perawat mengambil peran.
Lantas, sebenarnya siapa yang sedang berada di dunia nyata?
Beberapa pekan yang lalu …
Usai memeriksa kamar Abbas dan mencium kening beserta pipi gembil sang anak, Adibya pun melangkah kembali ke kamarnya. Lelaki tersebut baru saja terbangun dari lelapnya sebab sebuah mimpi buruk.
Adibya sendiri tidak terlalu mengingat bagaimana mimpinya tersebut saat terbangun, namun yang jelas hal tersebut benar-benar berhasil menyakiti perasaannya hingga detik ini. Hatinya seolah tersayat-sayat ketika bayang senyum manis nan polos milik buah hati semata wayangnya terlintas begitu saja. Oleh karena itu lah, demi mengobati sesak di dada, ia sambangi kamar sang anak di tengah malam.
(Part Privatter Pertama di Das Sein, Nomor 014)
Das Sein by ebbyyliebe