Sore yang padat di hari Kamis. Hampir enam puluh persen manusia yang baru saja pulang dari segala kegiatan mereka itu, kini berpacu agar lekas sampai ke tujuannya masing-masing. Entah itu anak sekolah, mahasiswa, pegawai kantor, pedagang sembako, pengamen, dan lain sebagainya. Tak terkecuali Najmi dan Adibya yang kini juga telah beranjak dari firma hukum tempat mereka bernaung. Buktinya saja, sepasang insan itu kini malah melepas sedikit penatnya kesibukkan di dunia kerja dengan cara menyesap minuman dingin milik masing-masing.
Pasangan yang sebenarnya kini terikat komitmen dan tekad itu memilih menikmati minumannya sembari memperhatikan jalanan yang padat dengan diiringi percakapan ringan. Tentu saja mereka belum sampai pada tahap pembicaraan pokok yang menjadi tujuan utama duduknya mereka di tempat ini.
“Hmm…,” gumam Najmi menarik perhatian Adibya yang tengah mengusap bibirnya dengan tisu. Lelaki itu baru saja selesai menyantap seporsi Black Burger yang menjadi highlight menu terlaris di kafe ini.
“Kenapa?” tanyanya menanggapi gumaman Najmi sembari meremat tisu dan menaruhnya di atas piring kotor ; yang hanya tersisa noda dari saus serta mayonais. Najmi yang kali ini tumben sekali dilanda gugup pun menggaruk pelan hidungnya.
“It’s okay. Kalau kamu merasa susah untuk menyampaikan apa yang mau kamu sampaikan ke saya, I’ll go first.” Lelaki ini, memutuskan untuk membuka pembahasan pokok terlebih dahulu. “Nanti kalau kamu rasa timing-nya sudah tepat, tell me. Jangan dipendam sendiri, okay?” Tentu, Adibya sedikit banyaknya sudah dapat menghapal maksud dari setiap gerak-gerik seorang Najmi Desra. Contohnya saja, kalau sedang gugup dan bingung, gadis itu akan selalu menyentuh hidung dan menggembungkan pipi secara bergantian. Dia memainkan udara bak sedang berkumur pelan tanpa air.
Najmi yang merasa selalu dipahami oleh sosok lak-laki di hadapannya itu pun cengengesan, kemudian mengunyah stik kentang goreng pesanannya. “Ya udah, emangnya Mas Adib mau bilang apa ke aku?” balas Najmi bertanya dengan kentang yang masih menyangkut di ujung bibirnya.
Adibya terkekeh. Membuat Najmi yang tengah menikmati aksi menggigit kentang gorang dengan beat cepat bak mesin pemotong itu mengerut heran, lalu menghentikan gigitan kecil-kecilnya. “Kenapa?” tanya sang gadis kemudian. Ia heran kenapa lelaki itu malah tiba-tiba tertawa?
Namun seperti yang sudah diduga, Adibya menggeleng dengan senyum yang tak luntur. Dalam otak lelaki itu, Najmi-nya begitu lucu. Dia makan seperti kelinci yang tengah menggigiti wortelnya.
Usai merotasi matanya malas, Najmi melanjutkan kegiatannya. Namun kali ini ia mencocol saus tomat sebagai penambah nikmat saat menyantap stik kentang goreng. “Ya udah, mau ngomong apa? Mas Adib duluan, terus aku,” sambungnya demi menetralkan detak jantung yang sebenarnya tengah berdisko ria. Senyuman Adibya sungguh mempesona meski dengan wajah lusuh pulang kerja.
“Hari Rabu depan ‘kan tanggal merah,” “Iya, terus?”
“Si kembar ponakan saya ulang tahun,”
“Wow, do you have a twin nephews?!” Adibya mengangguk dua kali sembari tersenyum sangat tipis. “Terus, terus?” Dan Najmi selalu saja merespon setiap kali ucapan Adibya berjeda.
“Ya enggak ada terus-terusnya,” sahut sang lelaki kemudian. Najmi pun merengut sebal— pura-pura. “Ish, serius!” erangnya memukul pelan lengan Adibya.
Usai tertawa kecil, Adibya pun menjawab, “Kamu diundang mba saya buat datang ke ulang tahun anaknya.”
“SUMPAH?!” kaget sang gadis dengan binar mata yang berpendar terang. Sayangnya, lengkingan suara barusan membuat beberapa pelanggan lain menoleh karena merasa terdistraksi. Adibya saja tidak menyangka kalau respon Najmi akan semelengking itu.
“Iya, terus kalau kamu nggak sibuk, mba saya juga mau minta tolong sama kamu buat bantu-bantu masak. Tapi kalau kamu enggak bisa, it’s ok— ”
“Bisa kok, bisa! Aku bisa!” potong Najami tanpa membiarkan Adibya menyelesaikan ucapannya terlebih dahulu. Padahal, dalam hatinya, gadis itu meringis dan merutuki tindakan bodohnya barusan. Matilah dia setelah ini. Dia ‘kan tidak jago masak. Kemampuannya masih di bawah rata-rata. Lalu bagaimana bisa dirinya akan membantu calon kakak ipar menyiapkan hidangan ulang tahun anak-anak?
“Enggak apa-apa memang? Kamu ‘kan biasanya kalau tiap libur sering check offline store sama konveksimu? Apa enggak ada jadwal pemotretan produk?” Adibya sedikit sungkan.
Pasalnya, gadis yang dulu bercita-cita menjadi model itu sudah merintis usaha kecilnya sejak berkuliah di semester 3. Dan Najmi, sebenarnya ia bisa dibilang sudah berhasil menjadi model (model dari brand-nya sendiri yang kebanyakan tidak memperlihatkan wajah dan kepala). Alias, hanya badan Najmi yang terbalut produk saja yang akan diperlihatkan. Tapi tidak masalah. Toh, ia juga tak bersungguh-sungguh ingin berkecimpung di dunia permodelan yang sesungguhnya. Lagi pula, sekarang gadis itu sudah jarang melakukan pemotretan karena sibuk. Ia lebih rela membayar orang lain untuk menjadi model brand pakaian vintage-nya daripada harus dia yang sibuk tunggang langgang ke sana kemari dan lepas pakai produk terbaru.
“Santai aku mah, lagi senggang. Launching the new products juga masih tiga minggu lagi,” jawab Najmi yang kemudian menyeruput minumannya, melon shake.
Adibya mengangguk-angguk, kemudian berterimakasih karena Najmi telah bersedia untuk memenuhi undangannya kali ini. “Terima kasih, Najmi,” ucapnya dengan kekehan kecil. Sedari tadi, lelaki itu memang tak lepas dari hal itu. Tersenyum, terkekeh, dan tertawa. Namun ada hal yang belum pernah ia lihat selama mengenal Adibya. Yaitu, terbahak dan menangis. Najmi belum pernah melihat lelaki itu terbahak atau tertawa terpingkal-pingkal. Dia selalu saja melakukan hal yang menurut pandangan Najmi — cool. Sikapnya selalu begitu, baik saat bersamanya, maupun saat bersama orang lain. Dan untuk urusan mengurai air mata, tampaknya pria itu sangat sulit untuk mengeluarkannya. Dia sudah terlatih atas segala sedih.
“Itu yang ngedesain produknya siapa? Kamu juga?” Adibya melanjutkan pertanyaan. Sebenarnya ia juga tidak mau dicap terlalu ingin tahu, namun percakapan ini harus tetap berlanjut sampai Najmi merasa pas dan nyaman akan hal yang ingin ia sampaikan. Lagi pula, seperti yang ia ketahui selama proses saling mengenal, Najmi memang memiliki bakat di bidang menggambar dan melukis. Gadis itu sering mengirimkan potret dari hasil guratan tangan ajaib yang telah diselesaikannya kala bosan ataupun waktu luang. Entah itu lukisan di kanvas, di kertas, ataupun digital, Najmi tak pernah absen untuk sekedar memamerkan bakatnya tersebut kepada Adibya.
“Mostly, sih, iya. Selebihnya ada temenku, anak busana, dia ikutan ngedesain dan nyempurnain desainku. Kebetulan karena dia juga amanah, ya udah, aku jadiin manejer aja atas persetujuan Ghandi,” jawabnya. “Uda Ghandi, maksudnya.” Najmi buru-buru memperbaiki ucapannya yang hanya menyebutkan nama Ghandi saja tanpa ada embel-embel ‘Uda’.
Adibya mengangguk paham. Ia juga sudah tahu tentang hal ini. Bahwa Ghandi memang cukup banyak membantu dalam hal bisnis kecil yang Najmi punya. Jika dijabarkan, akan terlalu panjang untuk menjelaskan segala hal tentang Najmi Desra. Begitu banyak cerita tentang raga yang satu itu. Oleh karenanya, nanti akan Adibya beritahu secara perlahan tentang apa saja yang telah ia ketahui mengenai calon istrinya.
“So, what the next your planning? Setelah program wajib magang ini.”
“Marry you, lah. Apalagi?” jawab Najmi dengan nada yang begitu yakin. Adibya sampai mengulum bibirnya menahan senyum. Kedua alis yang tak terlalu tebal itu pun ditarik ke atas. Netranya juga sedikit membesar atas jawaban Najmi barusan yang membuatnya cukup kaget. Dadanya, pun, terasa hangat tiap kali sang gadis selalu terang-terangan kalau menyangkut hal yang satu ini.
“No, I mean…, selain itu, what’s your future career plans? Kamu ada niatan kerja di bidang hukum atau perkantoran gitu apa enggak? Like, daftar PKPA dulu, ikutan tes CPNS tahun depan, lanjutin bisnismu aja, atau mau ambil program master…, mungkin?”
Kali ini, percakapan Adibya benar-benar sudah pas dengan apa yang akan Najmi sampaikan. Lebih tepatnya, Netherlands Magister Scholarship Program.
Adibya menangkap gerakan Najmi yang kembali menggaruk hidungnya. Menandakan bahwa gadis itu kembali dilanda gugup. Namun Najmi langsung mengalihkannya dengan cara menjawab pertanyaan Adibya, sengak.
“Opsi karir jadi ibu rumah tangga aja, emangnya nggak ada, ya?” tanyanya membuat Adibya menaikkan kedua alisnya, lagi. Dia semakin salah tingkah.
Najmi merengut, lalu memautkan bibirnya sedikit manyun. “Padahal will be fun nggak sih, if I were the mother of your children?” lanjut sang gadis dengan gestur yang kini malah menopang dagu sembari menaik-turunkan kedua alisnya.
Astaga Najmi, apakah dia tidak sadar dengan apa yang ia bicarakan? Tidakkah Najmi punya rasa malu dan merasa percakapan ini akan terdengar cringe bagi orang-orang yang mungkin saja tak sengaja mendengar? Adibya sampai menahan napas dibuatnya.
“Kalau untuk hal itu, pasti. Saya pasti bakalan setuju seratus persen. Tapi ini menyangkut kelanjutan pendidikan dan dunia kerjamu dulu, Najmi. Maunya gimana?”
Najmi diam. Sebenarnya ia juga tengah merutuki mulutnya sendiri yang tak bisa direm dalam berkata. Apa yang ada di dalam otaknya terkait Adibya, pasti akan selalu terucap begitu saja tanpa bisa dikontrol. Menyebalkan!
“Emm, kemarin-kemarin sih sebelum dikenalin papi sama Mas Adib, aku pernah iseng daftar magister scholarship…,” jawabnya pelan. Percakapan ini sudah mulai mengarah tepat pada hal yang ingin disampaikan.“… di Belanda,” sambung Najmi kemudian menunduk agar menghindari sorot sang lelaki yang berubah drastis. Padahal, sebelum kata ‘Belanda’ itu keluar dari mulutnya, rekasi Adibya seolah-olah sangat antusias dan menyebutkan kata ‘oh, ya?!’, dalam rautnya. Namun kini lelaki itu terdiam sepuluh bahasa. Sebab kalau untuk seribu, terlalu banyak. Ia bukan seorang pemecah rekor dunia yang mengerti segala bahasa.
Najmi memberanikan diri untuk melirik. Ia sangat menunggu respon Adibya atas pengakuannya barusan. Dan yang ia dapati, raut lelaki itu sama sekali tak terbaca oleh dirinya.
“Kamu…, daftar di universitas mana?” Namun siapa sangka, bahwa Adibya malah menanggapinya dengan demikian. Seolah-olah kalau Najmi betulan diterima di tempat itu, Adibya rela-rela saja. Padahal, pikiran Najmi sudah sangat berisik dengan rencana-rencana pernikahan yang telah tersusun rapi oleh mereka — ralat, oleh Najmi sendiri. Sebab, ia belum tahu rencana Adibya secara detail.
Najmi menghela sedikit kecewa. Namun dalam hatinya, ia masih tetap meyakinkan bahwa semua pasti akan baik-baik saja. Ada banyak jalan keluar yang bisa mereka ambil nantinya terkait masa depan.
“Utrecht University. Faculty of Law, Economics and Govermance.” Kali ini, setelah Najmi menjawab demikian, ia malah mendapati Adibya yang tersedak saat mendengar jawabannya barusan. Lelaki itu sampai terbatuk berulang kali demi menetralkan pernapasan.
“Kamu juga ngambil?” tanyanya kemudian.
“Hah?” Najmi yang tak mengerti pun malah bertanya balik. Respon Adibya terlalu ambigu untuk dijabarkan secara gamblang.
Dalam satu tarikan napas, Adibya pun memperjelas ucapannya. Bahwa, “Saya juga daftar di sana! Di universitas yang sama, dan fakultas yang sama as what you’ve chose!”
“HAH?!” Entah Najmi terlalu bingung atau tidak percaya akan hal yang baru saja menyapa rungunya, atau hanya sekedar mencoba mencerna kembali apa yang ia dengar, tidak ada yang tahu pasti. Sebab gadis itu sangat bingung dengan beberapa kalimat terakhir yang terlontar dari belah bibir Adibya. “What do you mean, sih? Aku nggak paham, Mas Adib.”
Si lelaki yang kini sorotnya sungguh tampak terang benderang pun menarik napasnya lagi. Padahal, sebenarnya ucapan tadi sudah cukup jelas untuk menggambarkan hal yang sedang melingkupi mereka berdua. Namun tampaknya Najmi punya satu dua hal yang membuat Adibya harus mengulang penjelasan. Toh, tak apa selagi orang itu adalah Najmi Desra.
“I mean, a few months ago saya juga daftar magister scholarship yang dibuka Ministerie van Onderwijs, Cultuur en Wetenschappen of Netherlands untuk beberapa negara pilihannya. Scholarship for international students, jalur kemendikbud! Paham, enggak maksudnya?”
“Wait,” Najmi terdiam mencerna, “at the same university, and the same faculty…, is that so?” tanyanya memastikan.
Adibya langsung menjentikkan jarinya di depan wajah Najmi. “Exactly!” ucapnya puas dan semakin tersenyum lebar. Ada sedikit beban yang mulai terasa ringan di bahunya. Sebab, dua malam yang lalu, hal ini juga sudah ia bicarakan kembali dengan Mba Arrisa — si pemberi informasi tentang segala beasiswa untuk program S2. Dan…, ya. Salah satu tujuan lain Adibya mengajak Najmi untuk berbicara adalah hal ini.
Bahkan bisa dibilang, ini lah pokok pembahasan yang ingin ia perbincangkan dengan Najmi. Tentang karir dan pendidikan. Makanya, tadi Adibya berani mencomot percakapan ini sebagai pembuka, dan membuat Najmi juga merasa sangat dimengerti meski tak sengaja.
“Holy shit!” Sang gadis kelepasan, lalu langsung membungkam mulutnya yang penuh antusias. Namun selang dua detik kemudian, ia kembali membuka belah rekahnya sembari menggebrak kecil meja yang ada di hadapannya itu. “Jinjja-yo? Is this for real?!” lanjutnya menggebu-gebu dengan menggunakan dua bahasa. Bahkan matanya sampai melotot-lotot meminta pernyataan sah, lagi, kepada Adibya.
Lelaki yang sama antusiasnya itu pun mengangguk, kemudian menjawab pasti. “Hm, for real!”
Najmi langsung menyugar rambut pendeknya dengan kedua tangan. Ia tertawa sembari menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Rasa khawatirnya tentang Adibya yang akan kecewa dan menentang keputusannya itu, perlahan sirna. Sebab nyatanya, ada kabar bahagia yang tak disangka-sangka yang ia terima. Bahwa, mereka akan sama-sama melanjutkan pendidikan master hukum di negara Eropa bagian barat tersebut. Di universitas yang sama, fakultas yang sama, dan jurusan yang sama.
Namun, bahagia itu nyatanya hanya singgah untuk beberapa menit saja. Sebab setelahnya, kekehan Najmi itu perlahan usai, dan berganti dengan ketakutan yang lebih besar. Kalau mereka mendaftar di tempat yang sama, peluang Najmi untuk lulus sangatlah tipis. Terlebih, salah satu lawannya adalah Adibya Lofarsa. Lelaki yang bahkan terkenal pintar dengan pribadi yang kritis saat menjadi mahasiswa, pun hingga saat sekarang ini.
“Damn! I hate this part so much!” Najmi benar-benar mengerang kesal dalam batinnya.
“Kenapa? There’s still something you want to tell me?” tanya Adiya mencoba untuk mengurai sesuatu yang mendera pikiran sang puan.
Gadis itu mengembuskan napas berat, lalu memejamkan matanya lagi. Pikirannya berkelana pada segala kemungkinan yang akan tetap terjadi. Mereka tetap dituntut atas keharusan kesiapan dalam perasaan ditinggalkan dan meninggalkan nantinya. Dan rasanya Najmi tidak akan pernah siap akan hal itu.
Bahkan, bila alam raya berpihak padanya memberi hoki seumur hidup — lolos seleksi beasiswa hingga tahap akhir ; sebelum mengetahui Adibya yang ternyata juga mendaftar di sana, Najmi rela melepaskannya. Sudah ia bulatkan untuk meninggalkan kesempatan itu demi membangun hubungan yang lebih serius dengan lelakinya, Adibya Lofarsa. Sebab, niat meberitahu Adibya tadinya hanya sebuah formalitas dan kewajiban yang Najmi rasa sebagai calon pengantin, harus saling terbuka satu sama lain. Hingga ia tahu, meski fakta lapangan sedikit berebeda, tetap pada kenyataannya ia dan Adibya harus mempersiapkan hati dan diri masing-masing.
“Aku nggak yakin lulus. Soalnya, sainganku pasti kayak Mas Adib semua, atau bahkan lebih, haha….” tawanya sumbang, lalu Najmi alihkan atensinya ke arah lain.
Adibya terdiam cukup lama. Ia paham sekali ketakutan gadis ini. Sebab, ia juga tahu bagaimana rasanya resah dan risau bersatu hingga menjadi sebuah perasaan yang sungguh sangat menganggu ketenangan hati dan pikiran.
“Hei,” panggli Adibya sembari mengetuk pelan satu punggung tangan Najmi dengan telunjuknya, dua kali. Gadis itu pun mau tak mau menoleh, sepenuhnya. “Jangan pesimis. Saya juga manusia biasa yang belum ada apa-apanya. And you, you must believe in your potential of yourself.”
Najmi mendengus. “Tapi kamu jelas berpotensi dari aku, lah. I know myself so well.”
Kini, giliran Adibya yang menghela napasnya pelan. “There’s another way, Najmi. Persyaratan di sana enggak ada yang mencantumkan bahwa pendaftar program master itu harus lajang. Cuma batas umur maksimal 32 tahun yang jadi salah satu syaratnya. Kamu ngerti ‘kan maksud saya?”
Yang ditanya masih membisu, memahami makna penyampain dari si pelontar kalimat barusan. “Maksud kamu, we need to get married before going to Netherlands?”
Adibya malah mengangguk dan tersenyum penuh arti. “Shall we?” tanyanya kemudian.
Jangan tanya Najmi. Jiwanya sedang sibuk ngereog akibat ucapan seorang Adibya Lofarsa yang secara halus mengajak dirinya menikah. “Sexy choice!” sahut Najmi sekenanya membuat sang lelaki langsung terkekeh. “Tapi aku nggak bersedia buat long distance marriage.” Alias, Najmi tidak mau ada istilah hubungan jarak jauh setelah mereka menikah nantinya. Apalagi sampai beda benua!
Langit di luar sana perlahan menjingga. Warnanya menghiasi hingga ujung batas cakrawala, menemani dua insan yang merencanakan segala sesuatunya terkait masa depan mereka berdua. Denting sendok yang beradu dengan piring, seruput pada minuman milik pelanggan lain, desing mesin penggiling kopi, sampai suara dentingan lonceng di kafe ini pun tak lagi dihiraukan. Sebab, Najmi dan Adibya telah tenggelam dalam konversasi yang mereka ciptakan. Rencana-rencana besar terkait masa depan tengah dirancang dan disusun dengan apik. Saling memberi saran dan solusi terbaik untuk keduanya.
“Saya harap, semua rencana kita disetuji alam raya, Najmi. Karena sejatinya, sebagai manusia kita hanya bisa berencana dan berjuang atas segala sesuatu yang kita inginkan. Putusannya? Tetap ada di tangan Yang Mahakuasa.” Hati sang lelaki bersuara.
Meski Adibya selalu berserah diri pada Tuhannya, harap yang begitu besar itu tentu tak pernah lekang dari lelaki tersebut. Ia sudah memantapkan dirinya, bahwa, seorang Adibya Lofarsa bin Laksamana Aswin Lofarsa akan mendedikasikan seluruh hidupnya di masa depan untuk seorang puan bernama Najmi Desra binti Khaffa Desra, dan keluarga kecilnya nanti.
“Will you marry me?”
Dan percakapan sore itu, berakhir dengan cita rasa bahagia luar biasa yang Najmi terima. Sebab, ini adalah kali pertama Adibya mengajaknya secara jelas di depan mata. Karena biasanya, seperti yang kita ketahui, dia lah yang selalu berucap dan mengajak lelaki itu berbagi cinta dalam ranah rumah tangga.
“Of course, yes. I will!” Tak perlu berpikir dua kali, tak perlu cincin tersemat di jari manis untuk saat ini. Sebab setelahnya, akan ada satu jabatan tangan yang merubah status mereka berdua. Dari bujang menjadi suami, dari gadis menjadi istri. Rumah tangga bahagia akan menjadi pelabuhan cinta terakhir dari pasangan Najmi dan Adibya. Pelayaran mencari pasangan sejati telah berakhir sampai di sini. Semoga, pelaminan menjadi tempat paling berjasa untuk keduanya.
Tolong aminkan, alam raya.
Narasi 26 ; Lofarsa
Karya Rofenaa
@ ebbyyliebe