Heningnya rumah di tengah malam itu seketika lenyap. Tak ada adegan jatuh terduduk lemas bak sinetron ataupun drama yang selama ini Najmi tonton. Sebab, saat menerima kabar buruk tersebut, ia pontang-panting berlari keluar kamar sembari berteriak sekeras mungkin. Bahkan, K-drama yang tengah ia tonton di laptop pun tak sempat untuk di-pause. Gadis itu benar-benar dikejar oleh waktu.
Meski tak dapat dipungkiri bahwa badannya turut bergetar ketakutan, Najmui tetap melangkah cepat untuk menggedor kamar Ghandi secara brutal. Resahnya tentang Netherlands Scholarship Program pun ia singkirkan terlebih dahulu. Sebab, ada ketakutan lain yang datang menghampirinya. Keresahan dan kecemasan yang bahkan jauh lebih besar daripada apa yang saat ini tengah ia rasakan.
Usahanya, karyawannya, tunjangan masa depannya. Semua tengah ia pikul.
“GHANDI, URGENT!!!” sorak Najmi sembari menggedor pintu kamar sang kakak. Suaranya benar-benar mengusir senyapnya malam, menggelegar hingga mengisi setiap sudut rumah. Pun ponsel milik Najmi yang biasanya dibiarkan dalam model senyap itu, kini berdering keras dan menambah kebisingan pada jam dua dini hari.
“GHANDI, BANGUN! KONVEKSI KITA KEBAKARAN!!!” Lantas, tepat setelah bersorak demikian, berbagai macam suara lain pun terdengar. Mulai dari suara pintu yang dibuka dengan cara tak santai, langkah yang tergesa, dan sorak tanya yang dipenuhi kepanikan pun mengisi telinga.
Ctakk!!!
Ghandi membuka pintu kamarnya gusar, lalu keluar, dan langsung kembali menutupnya. Dengan wajah bantal dan kesadaran yang belum terkumpul sempurna itu, sang kakak ternyata sudah melekatkan hoodie kebesarannya. Reflek lelaki itu memang patut untuk diacungkan jempol.
“Un, kenapa?!” tanya Jafar panik bukan main. Remaja itu bahkan sampai rela berlari untuk menghampirinya dari lantai satu ke lantai dua. Tidurnya yang lelap terdistraksi oleh suara Najmi yang benar-benar menandingi speaker di kamarnya. Padahal, saat ini Jafar sendiri sedang tak mengenakan baju, alias bertelanjang dada saja. Hanya bokser bola yang ia kenakan. Namun Jafar memilih tak peduli, sebab suara sang kakak sungguh membuat rasa paniknya memuncak hingga ubun-ubun.
“Konveksiku kebakaran, Jaf!” sahut Najmi yang kemudian berlari untuk turun ke arah tangga sembari menjawab panggilan dari Ratna si manajer, dan satu orang kepala penanggung jawab konveksi lainnya secara bergantian. Mereka berbagi informasi terkini terkait si jago merah yang mulai menguasai seluruh bangunan. Sementara Shiddiq, hanya membagikan informasinya melalui pesan suara.
Di belakang, Ghandi juga mengekori dengan langkah tergesa. Sementara Jafar masih hah heh hoh kebingungan. Remaja itu sampai mengusap wajahnya berulang kali demi mendapatkan fokusnya kembali.
“Najmi, kenapa?!!” Khaffa yang baru keluar dari kamar bersama Anggun pun sama paniknya. Mata merah yang terpampang pada dua insan tersebut menandakan bahwa Najmi benar-benar mengganggu waktu tidur orang lain. Sampai satpam dan ART di rumah ini ikutan terbirit menuju sumber suara. Tapi apa boleh buat? Keadaannya memang sudah sangat genting.
“Konveksi kebakaran, Pi! Ini mau nyusul ke sana.” Najmi menjawab sembari menoleh ke belakang. Ghandi sedang mencari-cari kunci mobilnya.
“Hah? Konveksi apa?” tanya Khaffa masih belum mengerti. Sementara Anggun masih menatap penuh kepanikan.
“Konveksi baju si Najmi, Papi!” Ghandi menyahut tepat saat kunci mobilnya ditemukan. Lantas, ia tarik Najmi untuk segera mengikutinya hingga garasi.
“Konveksi baju NDV Collection punya kamu itu kebakaran?!” tanya Khaffa yang pada akhirnya paham dengan situasi. Ling-lungnya sebagai orang yang baru bangun karena terkaget tersebut perlahan hilang.
“Astaga, iya, Papi!” sahut Najmi.
Lantas, semua berlari menyebar secara tiba-tiba. Najmi dan Ghandi berlari ke arah garasi, Jafar menuju kamarnya, Anggun berbalik entah ke mana, dan hanya Khaffa yang masih mematung di tempatnya.
“Jaket lo mana?!” tanya Ghandi dengan nada meninggi, dan juga terdengar sedikit menjengkelkan bagi Najmi. Tapi karena ia paham bahwa kakaknya itu sedang terbawa suasana pun memilih urung untuk membentak balik. Najmi tahu bahwa Ghandi tengah mengkhawatirkan dirinya yang tidak memakai jaket di malam yang dingin seperti ini. Ditambah, angin yang bertiup cukup kencang, membuat siapapun akan meremang di bawah pekatnya langit malam tanpa bintang.
“Ah, bodo amat lah! Nggak sempet, nggak usah pakai jaket!” sahut Najmi berjalan cepat ke arah pintu garasi untuk membukanya.
“Nanti lo masuk angin, Najmi!” Namun gadis itu memilih abai. Ia biarkan saja Ghandi meracau tidak jelas sembari menyalakan mesin mobil itu.
Ghandi sendiri, kalau memberikan hoodie-nya pada sang adik, mau pakai apa dia setelahnya? Bertelanjang dada? Kan, tidak mungkin. Makanya ia bawel sekali saat Najmi tak mengindahkan kalimatnya sama sekali.
Sementara di dalam rumah, orang-orang sibuk dengan kepanikannya masing-masing. “Mas, ini dipake jaketnya!” Dan ternyata, Anggun membawakan Khaffa sebuah jaket sekembali dari kamar. Wanita itu tahu bahwa suaminya pasti akan ikut menyusul ke sana. Sedang, di tangan kiri Anggun bergelayut sebuah cardigan warna hitam. Kemudian, wanita itu berlari menuju garasi demi menyusul anak-anaknya yang baru mengeluarkan mobil.
“Najmi! Kamu pakai cardi Bunda. Nanti masuk angin!” Pakaian itu pun berpindah tangan. Gadis yang tengah berdiri di luar garasi menunggu Ghandi itu pun tanpa berlama-lama langsung menyorongnya. Protes Ghandi pasti tak akan lagi terdengar olehnya setelah ini.
“Nanti jangan deket-deket banget sama TKP ya, Nak? Bahaya. Bunda nggak mau kalian kenapa-napa.” Najmi hanya mengangguk dengan wajah yang masih panik bukan main. Follow up dari Ratna dan Shiddiq terkait konveksinya pun menambah resah. Sebab, si jago merah mulai membesar. Malam yang berangin menambah kesulitan dalam pemadaman api.
Shiddiq yang lokasi rumahnya tak jauh dari tempat konveksi milik Najmi berada pun rela menyusul ke tempat itu sendirian. Kebetulan, lelaki itu belum tidur karena gangguan insomnia yang melanda. Dan saat sedang asyik duduk di balkon rumah sembari mengunyah kacang rebus pada jam yang hampir menunjukkan pukul dua dini hari itu, Shiddiq malah melihat kobaran cahaya jingga kemerahan dari jarak 500 meter. Lantas, ia pun dengan cepat menghubungi nomor pemadam kebakaran untuk mengirim unit mereka.
Awalnya, lelaki itu tidak yakin dengan lokasi tepatnya di mana. Namun itu tampak seperti dari kawasan konveksi milik Najmi berada. Sebab, ia sendiri lah yang dulu ikut mencarikan bangunan di sekitar sana untuk dijadikan gadis itu sebagai tempat melangsungkan usahanya. Maka dari itu, karena tak mau salah duga dan kepikiran, Shiddiq sampai menyusul ke tempat di mana asap hitam pekat itu berasal dengan motornya.
Setelah sampai ke dekat TKP, akhirnya Shiddiq dapat melihat langsung, bahwa dugaannya tidak meleset. Kebakaran itu bahkan berasal dari konveksi milik Najmi yang kobaran apinya kian membesar. Tebakannya akurat. Lantas, tanpa menunggu waktu lama, lelaki itu mengirimi pesan pada Najmi. Ia juga menelepon gadis itu meski dirinya tak yakin bahwa Najmi masih terbangun. Dan setelah berulang kali menelepon dan tak dijawab, akhirnya gadis itu pun membalas pesannya. Dan setelah ia mengirimkan foto gedung yang sedang dilalap api itu, Najmi tak lagi membalas. Shiddiq pun kini sibuk mengetuk-ngetuk tiang listrik sekeras mungkin dengan batu sembari berteriak “Kebakaran, kebakaran!” secara lantang. Hal itu ia lakukan bersama beberapa warga lainnya yang sudah berada di lokasi ini sebelum dirinya datang.
Tak selang beberapa lama, lima unit mobil kebakaran yang dikerahkan pun satu persatu mulai berdatangan. Resah Shiddiq terhadap musibah yang diterima gadis itu pun mulai turut berkurang.
Gadis yang sebenarnya ia sadari bahwa raga itu pernah jatuh hati kepadanya, ia hanya pura-pura tak tahu karena enggan merusak pertemanan, dan menyakiti hati perempuan, lagi. Sudah cukup banyak gadis yang sakit hati karena dirinya masih sangat menyukai Nabila hingga beberapa bulan yang lalu. Maka, sebisa mungkin ia membuat Najmi tak termasuk ke dalamnya. Biarlah ia berpura-pura tak tahu daripada harus ada yang menjadi korbannya lagi. Toh, sekarang Najmi juga sudah akan menikah dengan lelaki yang jauh lebih baik dan matang.
Di lain sisi, Najmi hanya terdiam kaku menatapi cahaya terang di malam yang kelam. Ia benci, marah dan kecewa. Kobaran api itu benar-benar menyala di depan sana. Asap tebalnya pun menguasai udara sekitar. Bising di tempat ini benar-benar menambah sakit di kepalanya. Serine mobil kebakaran, suara generator pemompa air, sorakan warga, langkah kaki yang terdengar rusuh, dan bunyi gemercik api benar-benar mengusai rungu Najmi. Mengacaukan seluruh konsentrasi, mengobrak-abrik pertahanan. Dan membuat ketakutan itu, muncul kembali ke permukaan.
Kepalanya yang mengadah menatap letupan api nan super membara, membuat Najmi kian pening dengan dada yang mulai sesak. Bayangan masa kelam itu kembali menghantam sudut tersembunyi dalam pikirannya.
“Najmi, lo ngapain keluar sih?! Kan udah gue bilang di dalam mobil aja!” Ghandi kesal sekali melihat adiknya yang keras kepala sampai berani mendekat ke arah TKP.
Lantas, tanpa tedeng aling-aling, raga yang sudah bercucuran keringat karena sedari tadi berlari kian kemari membantu pemadam kebakaran memegangi selang pun menarik Najmi untuk kembali menuju mobil. Gadis itu harus menjauh dari hiruk pikuk keporak-porandaan ini.
“DA GHANDI!!!” Itu suara Jafar yang tadi juga ikut membantu memadamkan api. Wajahnya benar-benar dipenuhi keringat dengan napas yang terengah-engah. Sementara Khaffa sang Papi, masih sibuk di depan sana membantu pemadam kebakaran yang kesusahan mendapatkan akses air. Dua manusia itu memang menyusul menggunakan mobil lainnya selang beberapa menit Ghandi dan Najmi meninggalkan pelataran garasi.
“Jafar, kamu jagain Najmi aja di sini! Atau kalau perlu bawa pulang aja sekarang!” sahut Ghandi sembari memberi titah. Ia tak mau adiknya itu kambuh di sini. Sebab, memang fatal sekali membawa Najmi ke tempat bencana seperti ini. Ghandi sungguh sangat menyesal.
“Tapi, Uda…, aku belum mahir bawa mobil.” Lebih baik Jafar jujur daripada nyawa mereka melayang sia-sia, bukan?
“Astaga,” sahut Ghandi mengusap wajahnya gusar. Sementara seratus meter tak jauh dari mereka, di depan sana si jago merah masih berkuasa. Ia juga tak bisa meninggalkannya begitu saja. Ghandi harus memastikan semuanya sampai tuntas.
Cek-cok pun tak dapat dihindari. Dua bersaudara itu sibuk menimpali kalimat satu sama lain tanpa mau mengalah. Sementara, Jaffar sudah menjambak rambutnya sendiri karena bingung harus melerai dengan cara yang bagaimana lagi. Ghandi dan Najmi sama-sama kepala batu.
Tak lama, Ghandi yang sibuk memaksa Najmi untuk tetap duduk tenang di dalam mobil pun mendadak panik. Adiknya tampak mulai kesulitan dalam bernapas.
“Najmi, tarik napas lo yang bener!” Ghandi menitah sang adik yang kini sudah berhasil duduk di kursi penumpang. Sementara, sang lelaki masih berdiri di dekat pintu. Ia rapikan rambut sang adik yang terlihat sangat acak-acakan.
“It’s okay, Najmi. It’s okay. Gue minta maaf. Lo yang tenang. Kita pulang sekarang.” Namun Najmi kembali menggeleng keras. Ia tahan lengan Ghandi agar lelaki itu tak berjalan menuju kursi kemudi.
“Gue mau di sini aja, Ghan. Sampai apinya padam.”
“Lo gila?! Jangan keras kepala, Najmi! Yang ada lo bisa mati sesak napas kalo tetep di sini!” balas Ghandi tak mau kalah. Ia lepaskan dengan paksa genggaman sang adik.
“I’ll show you!” pungkas Najmi masih dengan keras kepala dan tekadnya. “Gue bakal buktiin kalau gue nggak bakalan kenapa-napa, Da Ghandi!”
“NO!” balas Ghandi yang kelepasan membentak. “You’d better get home!” lanjutnya menurunkan nada suara, namun masih terdengar tajam dan penuh penekanan.
“Tapi gue nggak mau!”
“Jangan keras kepala bisa?!” sentak Ghandi dengan raut putus asa. “Cause I don’t want to lose someone I love anymore,” lanjutnya mencengkaram kedua pundak sang adik. Susah payah ia redam segala kekhawatiran dan emosinya, namun Najmi tetap saja sukar diberitahu.
Lantas, pada akhirnya, setelah beradu tatap dengan sengit, Najmi bungkam dengan dada yang naik turun. Matanya yang bergetar itu kini perlahan terlihat sendu. Kalau Ghandi sudah seperti ini, ia tak lagi bisa apa-apa. Sebab, dirinya juga tak boleh egois. Sang kakak sungguh mengkhawatirkannya. Lelaki itu benar-benar tak mau lagi kehilangan orang yang ia sayang. Maka, mau tak mau, Najmi harus menurut. Meski dalam hati ia telah bertekad untuk tetap bertahan di sini hingga akhir.
“Pulang, ya? Gue takut lo kenapa-napa.” Ghandi membujuk sang adik dengan nada yang lebih tenang. Ia usap kening Najmi yang berkeringat dengan penuh kelembutan.
Karena Najmi tak lagi menjawabnya, Ghandi anggap itu sebagai kalimat persetujuan. Lalu, ia melangkah mundur. Ditutupnya pintu mobil, dan kemudian mengedar pandangan. Netranya sedang bekerja — mencari-cari sesosok pemuda ke seluruh penjuru. Sebab, pemuda itu, pemuda yang sedari tadi terlihat sangat berjasa dalam pemadaman konveksi milik Najmi, Ghandi harus menemukannya! Karena memanga, ia tampak bisa dipercaya untuk dimintai pertolongan disaat yang super genting seperti ini.
“BANG!!!” Ghandi langsung memanggil dengan keras saat beberpa detik kemudian menemukan orang yang dicarinya. Sementara, Jafar hanya diam memperhatikan. Sesekali, ia membalas pesan dari sang Bunda dengan fitur pesan suara.
Kemudian, yang merasa dipanggil pun menoleh dan memelankan langkahnya. “Aye, Bang?” tanyanya bingung dengan tangan yang sibuk memegang ember kosong dan pentongan.
“Iya, elo!” Jarak mereka pun kian terkikis. Sebab, pemuda dengan tinggi yang melebihi si jangkung Jafar pun menghampiri dengan raut bingung dan bertanya-tanya.
“Ngape, Bang? Ada yang bisa aye bantu?” tanyanya melirik sekilas ke arah mobil yang tampak tidak asing.
Ghandi mengangguk. “Iya. Abang bisa bawa mobil nggak, Bang?” tanyanya to the point.
“Waduh, Bang. Kalo bawa mobil mah, aye kaga bisa,” jawabnya yang langsung membuat Ghandi menghela napas. Sama aja, pikirnya kecewa. “Berat soalnye,” sambung si pemuda yang langsung mengundang raut bingung di wajah Ghandi dan Jaffar. “Tapi kalau nyetir, bisa!”
Hening. Satu-satunya yang menikmati candaan itu hanyalah Shiddiq. Ya, Shiddiq. Siapa lagi?
Dua detik kemudian, Ghandi dan Jafar baru mengerti bahwa pemuda yang ingin ia mintai pertolongan itu nyatanya sedang bercanda. Ya walaupun tak sepenuhnya salah, Ghandi tetap kesal bukan main dibuatnya. Kalau saja tidak mengingat ia ingin meminta bantuan, sudah ia maki pemuda itu.
“Hehe, mang ngape, Bang?” tanya Shiddiq memecah kecanggungan.
Kemudian, tanpa mau menanggapi lelucon Shiddiq terlalu jauh, Ghandi pun dengan lekas membuka suara. “Gue mau minta tolong nih, Bang. Anterin adek gue ke rumah. Dia nggak bisa bawa — nyetir mobil soalnya,” jelas Ghandi yang sempat berhenti untuk memperbaiki pemilihan kata. Lalu ditunjuknya Jafar dan mobil secara bergantian sebagai objek yang sedang dibicarakan.
“Lah, abang emangnye kaga bisa?” tanya Shiddiq menggaruk kepala.
“Nggak bisa, Bang.”
“Lah, terus itu tadi siapa yang nyetir?” potong Shiddiq kian bingung. Lama-lama ia juga curiga dengan gelagat dua pemuda ini.
Jangan-jangan aye mau diculik lagi nih! Tapi masa sih? Udah bangkotan beban keluarga begini ade yang mau nyulik? Pikir Shiddiq berlebihan.
“Bukan, Bang. Maksud gue, gue nggak bisa nganterin adek gue pulang karena harus ngurus itu.” Begitu jawab Ghandi menunjuk ke arah kekacauan. Lelaki itu tampak sekali mencoba meredam seluruh emosinya yang mulai kembali terpancing agar tidak meledak menambah kerunyaman.
“Lah, emangnye Abang sape? Damkar?” tanya Shiddiq yang demi Tuhan membuat Ghandi kian jengkel setengah mati.
Lantas, dengan helaan napas yang super kasar, Ghandi menjawab, “ Nggak, Bang, Itu konveksi punya adek gue! Dan orangnya lagi nungguin di dalam mobil.”
“Lah maksudnye, situ abangnye si Najmi?”
“Lo kenal adek gue?!” kaget Ghandi bukan main.
“LAH TEMEN AYE ITU, BANG!!!” sahut Shiddiq yang langsung menyerahkan ember dan pentungannya begitu saja pada Ghandi. Pemuda itu berlari kecil ke arah mobil yang katanya ada Najmi di dalam sana.
Ah, akhirnya! Orang yang ia cari-cari itu dapat ia temukan keberadaanya!
“Najmi!” panggilnya sembari menerawang kaca mobil. Dan ternyata, memang gadis itu yang mengisi bangku penumpang bagian depan.
Namun, yang Shiddiq lihat bukanlah tampak seperti Najmi yang biasanya. Najmi yang ceria dan sering teratawa, sedang menangis terisak-isak di dalam sana. Gadis itu menepuk dadanya berulang kali, seolah menunjukkan betapa susahnya ia bernapas.
“ASTAGA, BANG! ADEK LU KENAPE?!!” sorak Shiddiq yang langsung mundur untuk membuka pintu mobil. Ia benar-benar kaget saat melihat Najmi tampak seperti orang yang sedang sakaratul maut.
Ghandi yang baru menyadari bahwa waktunya tadi telah terbuang untuk meladeni Shiddiq pun mengumpati dirinya sendiri. Matanya ikut bergetar panik saat mendengar Najmi yang bergumam kesakitan.
“Da Ghandi…, sakit,” ringisnya terputus-putus.
Dengan beribu penyesalan, Ghandi pun mendorong kasar tubuh Shiddiq agar segera menyingkir dari pintu. Ia tarik seat belt untuk keamanan Najmi, dan ia tutup pintu mobil dengan lekas.
Persetan dengan gedung yang hangus itu! Nyawa Najmi lebih berharga dibanding apapun!
“JAFAR, KAMU PULANG SAMA PAPI!” Ghandi bersorak setelah memasuki mobil, kemudian ia putar kemudi dengan kecepatan maksimal. Klakson pun mau tak mau ia bunyikan berulang kali agar orang-orang yang mulai memadati jalan itu segera menyingkir dan menepi.
“LAH, AYE KAGA JADI BANG?!!” sorak Shiddiq kebingungan. Yang ia dengar kini hanya derauan knalpot mobil tanpa ada jawaban dari Ghandi lagi.
“Lu sape?” tanya Shiddiq pada lelaki yang empat senti lebih pendek darinya itu secara tiba-tiba.
“Adeknya,” jawab Jafar yang kemudian berlari menuju kumpulan mobil pemadam kebakaran. Lagi-lagi, Shiddiq ditinggal tanpa kejelasan.
“Dasar ondel-ondel kaga jelas lu!” gerutunya, yang kemudian mau tak mau memungut ember dan pentungan yang tadi dibuang sembarangan oleh Ghandi.
Di depan IGD, Ghandi bersusah payah menahan tangisnya. Dadanya ikut sesak saat melihat Najmi yang berakhir pingsan dengan wajah yang begitu pucat. Adik tersayangnya itu kehilangan kesadaran tepat dua menit sebelum sampai di pelataran rumah sakit.
Dengan tangan terkepal yang menjadi pelampiasan rasa takutnya itu, sesekali ia gigit demi menekan resah. Jantungnya berdebar tiga kali lipat saat rasa takut kehilangan itu perlahan merayap ke seluruh tubuhnya. Ghandi seolah digeranyangi ketakutan dan rasa bersalah yang luar biasa hebat.
“Najmi, please…, don’t leave me.” Ghandi benar-benar berharap dalam hatinya. Dia sungguh tak mau kehilangan sang adik yang teramat ia sayangi. Bahkan, masih banyak hal yang belum ia lakukan bersama gadis itu.
Lantas, setelah bermenit-menit berlalu, Ghandi tiba-tiba teringat pesan mendiang Mami tentang kehidupan. Bahwasanya, “Hidup itu memang penuh lika-liku, Nak. Jika semuanya berjalan lancar tanpa ada hambatan sedikitpun, itu namanya bukan hidup. Bukankah roda akan selalu berputar? Maka, nggak ada yang namanya selalu di atas, dan juga nggak akan ada yang selalu di bawah. Pun, alam raya memang selalu akan berkerja dengan semestinya. Jadi, nggak ada yang perlu kita sesali dan umpati. Tuhan hanya sedang menguji.” Begitu ingat Ghandi meyakinkan diri.
Narasi 31 ; Lofarsa
Karya Rofenaa
@ ebbyyliebe