Di dalam ruangan bernuansa klasik modern ini, Arsaka mematut setiap aksen yang terpahat. Perabot yang terkesan mewah dan mahal, serta sajian makan siang yang terlihat berbeda dari apa yang biasanya ia konsumsi sehari-hari.
Di sini, di tempat ini, selain dihadapkan dengan ruangan yang memanjakan mata dan mengundang pukau, Arsaka cukup kaku kala iris coklat terang yang mirip dengan miliknya itu menatap tanpa henti. Jihan memperhatikan gerak-geriknya sedari tadi.
“Udah puas ngeliatin interiornya?” Wanita itu pun bertanya lembut kala netranya beradu dengan sosok Arsaka.
Pemuda tersebut tersenyum canggung. Apa tadi ia terlalu mencolok memperhatikan setiap sudut ruangan ini? Sampai Jihan bertanya demikian kepadanya?
“Ya ampun Arsaka, norak banget sih kamu!” batinnya mengutuk diri sendiri.
“Hehe, udah Bu,” jawabnya kemudian. Jihan pun mengangguk dengan senyuman yang masih terpampang jelas di wajahnya.
“Sekarang makan dulu.” Wanita itu menatap Arsaka dan makanan yang tersaji secara bergantian. “Setelah itu baru kita bicara,” lanjutnya. Arsaka pun mengangguk-angguk.
“Makasih, Bu.”
“Sama-sama.” Kemudian hening. Yang terdengar hanyalah bunyi guratan pisau yang mengenai piring. Steak yang tersaji untuk kali ini membuat Arsaka menjadi sedikit ribet. Pasalnya, ia tidak pandai menggunakan pisau dan garpu. Karena biasanya dia makan menggunakan tangan langsung atau sendok. Jangankan pisau atau sumpit, garpu saja ia gunakan kalau hanya sedang makan mie. Dan ini ia malah disuguhkan makanan mewah yang biasanya dimakan dengan cara elegan. Arsaka jadi gugup setengah mampus dibuatnya.
Jihan terkekeh melihat gelagat anak itu. Ingatannya kembali terseret pada kebiasaan Hanif yang juga tidak cakap dalam menggunakan pisau makan.
Dengan inisiatif, Jihan pun memberikan piring dengan steak yang telah terpotong-potong miliknya tersebut pada Arsaka. Lalu mengambil piring pemuda itu untuk jadi miliknya.
“Kamu makan yang itu aja. Yang ini untuk saya,” ucapnya mengagetkan Arsaka. Steak yang telah wanita itu potong, apa benar untuk dirinya? Begitu tanya Arsaka dalam hatinya.
“Tapi Bu, itu udah saya acak-acak,” sahut Arsaka sungkan.
Jihan tersenyum. “Nggak apa-apa. Kan belum kamu makan.” Demi apapun, Arsaka bingung harus berbuat apa lagi. Dirinya hanya bisa berterimakasih sembari menggaruk alisnya yang tidak gatal.
“Bu,” panggil Arsaka sebelum menyuap potongan pertama ke dalam mulutnya.
Jihan yang asik memotong steak pun mengadah. “Ya?” sahutnya.
Arsaka terdengar bergumam. Ia terlihat ragu dengan apa yang akan ia utarakan. “Kenapa?” Jihan memastikan bahwa anak itu harus menyampaikan apa yang ingin disampaikan.
“Emm, ini daging sapi kan ya?” tanyanya kemudian. Jihan pun tertawa kecil. Lucu sekali anak Laksana Hanif ini.
Selang beberapa detik, anggukan pun terlihat dari sosok Jihan. “Ya iya, daging sapi. Kamu kira pork?” tanyanya speechless.
Arsaka tersenyum semakin canggung. Anggukan polos itu kian membuat hati Jihan tergelitik. “Iya, hehe....” jawab Arsaka.
“Daging sapi kok ini. Halal. Kamu nggak perlu cemas. Saya tahu apa yang harus saya pesan buat kamu,” jelasnya. Toh, di restoran ini mana ada daging babi.
“Makasih, Bu.” Arsaka menganggukkan kepalanya sopan. Kemudian suapan pun ia lanjutkan setelah membaca doa.
Makan siang itu berlangsung hening. Paling satu dua suara Jihan yang menawarkan beberapa menu lain untuk Arsaka. Dan karena sungkan, ia pun menerima apa saja yang telah Jihan pesankan.
“Muka kamu kenapa merah kayak gitu?” tanya Jihan saat suapan kedua aglio olio memasuki mulut Arsaka. Sungguh, saat ini Arsaka rasanya ingin muntah.
“Nggak suka ya?” tanya Jihan khawatir. “Kamu mau muntah?”
Arsaka menggeleng gusar. Dengan susah payah, ia telan makanan yang ada di dalam mulutnya itu. Tidak sopan pula rasanya kalau ia memuntahkan makanan ini. Dengan lekas, Jihan pun memberikan segelas air putih untuk Arsaka teguk.
Namun bukannya mereda, tenggorokan Arsaka tiba-tiba terasa gatal dan panas. Dadanya seolah terbakar dan terasa sesak. Pemuda itu terbatuk-batuk sampai wajahnya yang merah berangsur menjadi pucat karena sulit untuk bernapas. Katup pernapasannya seolah tertutup selama belasan detik ini.
Jihan yang melihat gelagat aneh itu pun berdiri panik. “Arsaka, kamu kenapa?!!” Pundak nan kokoh itu ia guncang. Arsaka terlihat sekarat sembari memegangi tenggorokan dan dadanya.
“Arsaka Laksana?! Jawab saya!” Namun wajah Arsaka semakin pucat. Erangan kesakitan pun mulai terdengar memenuhi ruangan ini.
“Sa-sakit....” rintihnya perih. Arsaka sudah tak lagi mampu rasanya untuk berbicara dengan lurus.
Jihan yang panik pun segera berteriak kencang untuk memanggil pengawalnya di depan sana. Pula pegawai restoran yang pontang-panting berlari memasuki ruangan VIP ini.
“CEPAT PANGGIL AMBULANS!!!” Jihan memerintah pada siapapun yang memasuki ruangan. Tubuh Arsaka bahkan telah ia rengkuh di lantai. Pemuda itu terjatuh sangkin sulitnya menahan sakit.
Air mata Jihan tak lagi dapat terbendung kala wanita itu melihat mata Arsaka yang merotasi hingga menampilkan putihnya saja. Ia terlihat seperti sedang sakaratul maut!
“YA TUHAN, ARSA!!!” Teriakan histeris itu melantun bersamaan dengan erangan keras Arsaka. Dia sungguh sangat kesakitan.
“Bu, sebaiknya kita bawa langsung ke rumah sakit. Kalau nunggu ambulans bakalan lama!” ucap Tatang memberi saran. Ya, Tatang, salah satu orang kepercayaannya yang juga ikut ke sini.
Jihan pun mengangguk. “Kamu,” ucap Jihan pada pengawal setianya yang menelepon ambulans barusan. “Urus semua hidangan itu!” perintahnya sembari menunjuk berpiring-piring makanan yang ada di atas meja. Wanita itu curiga kalau hidangan tersebut telah sengaja diracuni oleh seseorang.
Pengawal tersebut pun mengangguk. “Nanti saya perintahkan Tristan untuk membantu kamu.” Kemudian fokusnya kembali pada Arsaka yang mulai Tatang tarik untuk ia gendong di punggungnya. Pegawai restoran ini pun segera membantu tubuh Arsaka untuk naik ke punggung Tatang.
Namun yang membuat mereka semakin panik adalah, Arsaka yang tadi menggelinjang kesakitan kini malah terdiam. Tubuhnya lemas dalam gendongan Tatang.
“ARSAKA!!!” Sorak Jihan yang paniknya makin menjadi kala pemuda itu telah kehilangan kesadarannya. Jihan semakin panik. Matanya memerah menahan air mata kepanikan dan amarah.
Tatang berlari sambil menggendong Arsaka di punggungnya. Diikuti oleh Jihan, dan dua pegawai yang turut mengikuti. Kerusuhan tersebut pun bahkan menarik perhatian seluruh pengunjung yang tengah makan siang di balai utama. Bisik-bisik dan raut panik pun terlihat dari berbagai macam wajah pengunjung. Ikut bersimpati kala melihat tubuh pemuda yang tidak sadarkan diri itu berada dalam gendongan seorang lelaki matang.
“Mama?!” Bahkan suara yang satu ini sampai tidak terdengar oleh Jihan yang tengah panik luar biasa.
Alvaro pun berdiri. Bahkan Jeriko sudah berlari terlebih dahulu saat menyadari bahwa orang yang dalam gendongan tersebut adalah anak angkatnya!
“MAMA?!”
“ARSA?!”
Sorakan itu serempak menggelegar di ujung pintu. Alvaro dan Jeriko berhasil menyusul langkah Jihan dan Tatang yang terburu.
“Alvaro? Jeriko?!” kaget Jihan menoleh. Ia tidak menyangka bahwa akan bertemu dua orang itu di tempat ini.
“Arsaka kenapa, Ma?” Alvaro bertanya bingung saat Jeriko mengambil alih tubuh anaknya itu untuk ia gendong. Tatang tidak akan secepat dirinya berlari, begitu pikir Jeriko.
“Bu!” Jihan yang masih bingung kenapa anaknya juga bisa berada di sini pun menoleh pada Tatang. Pria itu bahkan sudah berlari bersama Jeriko ke arah parkiran. Kebetulan sekali, sebab ia juga tidak tahu harus menjawab apa terhadap pertanyaan anaknya saat ini.
“Ayo, Ma!” Alvaro pun meraih pergelangan Jihan untuk ikut berlari menyusul. Kini bukan saatnya ia memikirkan hal lain. Kondisi Arsaka adalah yang paling utama untuk diselamatkan.
Baru saja hendak memasukkan tubuh Arsaka ke dalam mobil, ambulans pun datang. Pelanggan restoran bersorak heboh sembari menunjuk-nunjuk ke arah mereka. Memberi tahu bahwa korban telah berada di parkiran.
Dengan lekas dan ringkas, tubuh lemah Arsaka pun dibaringkan dan di bawa ke dalam mobil ambulans. Alvaro bahkan mendorong Jihan dengan pelan agar wanita itu ikut masuk ke dalam sana bersama Jeriko. Sementara dirinya dan Tatang akan menyusul dengan kendaraan lain.
Pertolongan pertama segera diberikan. Napas Arsaka sudah sangat pelan. Jantungnya juga berdetak sangat lemah sampai membuat Jeriko mengusak rambutnya frustasi. Ia benar-benar khawatir dengan kondisi anaknya ini.
“Kenapa bisa gini Pak, Bu?” tanya salah satu petugas.
Jeriko turut menyahut. “Iya, Mba. Ini Arsaka kenapa?” tanyanya gusar. Padahal, tadi pagi anak ini masih segar bugar dan sehat wal afiat. Tapi siang ini, Arsaka malah berada dalam kondisi yang seperti ini. Jeriko bahkan juga tidak menyangka bahwa Arsaka pergi untuk menemui Jihan yang dicari-cari oleh Alvaro.
“Saya enggak tau pasti, tapi setelah dia makan dua suap aglio olio, Arsaka mendadak kayak kesakitan gitu. Semua hidangan juga sudah diurus pengawal saya. Bisa dites labor aja nanti. Saya curiga kalau makanan itu mengandung racun.”
Jeriko menutup mulutnya tidak percaya. Ia sangat tidak menyangka bahwa hal tragis ini menimpa Arsaka Laksana.
Petugas itu mengangguk sekilas. Alat bantu pernapasan bahkan sudah terpasang oleh mereka. Tangkupan di wajah Jeriko pun menutupi seluruh ekspresi kekhawatiran lelaki itu. Baru kali ini dirinya menyaksikan Arsaka tidak berdaya. Senyum lembut yang selalu rekah menghangatkan hati, kini tak terlihat. Hanya wajah datar dengan mata tertutup yang terpampang di hadapannya.
Dia yang kalau demam tidak pernah mengadu, dia yang kalau terluka tak pernah mengeluh, kini terbaring tak berdaya. Arsaka Laksana, dia sedang tidak baik-baik saja.
Kendaraan khusus ini membelah jalanan. Bunyi serine di siang hari bahkan terdengar begitu keras mengisi punjuru kota. Semua kendaraan mengalah dan menepi. Naluri mereka sebagai manusia berjalan dengan baik hari ini.
“Saya enggak tau harus gimana kalau sampai anak ini kenapa-napa, Jer.” Jihan mendesah resah. “Rasa bersalah ini pasti akan semakin bertambah kalau Arsaka terluka gara-gara saya,” sambungnya frustasi.
Jeriko pun hanya bisa menggeleng lemah. Ia tak tahu harus berkata apa untuk sekarang. Kondisi Arsaka benar-benar mengguncang jiwa raganya. Bayangan kehilangan almarhum istri tercintanya bahkan seakan terulang hari ini. Genggaman tangannya pada Arsaka bahkan terasa nyata kala dulu ia menggenggam Mutiara kasihnya.
“Lino, mau kemana kamu?!” Rafi yang belum selesai berbicara pada anaknya itu bertanya tidak suka. Sudahlah semalam tidak pulang, sekarang baru tiga puluh menit berada di rumah malah hendak pergi lagi. Padahal, pembicaraan mereka tentang dunia perkuliahan Lino belum usai. Masih ada banyak hal yang harus dibahas.
Lino berhenti sejenak. “Temen aku masuk rumah sakit, Pah.” Lalu ia berlari ke arah kamar untuk mencari kunci motor yang biasanya ia gunakan.
“Pentingan dia ya dari masa depan kamu?!” tanya Sonya ikut berang.
Langkah Lino yang masih berada di anak tangga ke lima pun terhenti. Ia menoleh. “Masa depan aku?” tanya Lino lalu tertawa. Namun wajahnya tiba-tiba kembali datar. “Masa depan kalian kali,” sambungnya tak suka. Kemudian ia lanjutkan langkah cepatnya menuju kamar.
Padahal, niat Lino pulang adalah untuk berdamai dengan kedua orangtuanya. Ia ingin meminta maaf dan menuruti kemauan mereka. Namun karena saat baru sampai sudah disemprot habis-habisan oleh Sonya dan Rafi, pula ditambah oleh Oma yang dikompori Sandi pun membuat Lino sakit hati. Semua niatnya luntur. Segala yang telah ia rancang dari kemarin malam telah hancur. Tak ada lagi kepingan harapan untuk berdamai dengan keluarganya.
Kecewa. Satu kata yang dapat menggambarkan hidup seorang Lino Cakrawala. Orangtuanya egois. Semestanya turut bengis lagi sadis.
Unit Gawat Darurat. Arsaka telah berada di dalam sana. Sementara Jeriko, Jihan, Alvaro, dan Tatang masih menunggu gusar di luar ruangan. Ada banyak hal yang menjadi kekhawatiran mereka. Ada begitu banyak beban yang ditanggung pada setiap masing-masingnya.
“Padahal saya belum sempat bicara dengan anakmu, Jer...,” lirih Jihan yang duduk menunduk di samping Alvaro. Anaknya itu baru datang sekitar lima menit yang lalu.
Sementara Alvaro, digenggamnya tangan sang Mama demi meyakinkan bahwa semua pasti akan baik-baik saja. “Bahkan dia belum sempat melihat wajah ayah ibunya.” Wanita itu melanjutkan penyesalan terhadap waktu. Ia sangat tidak menyangka bahwa hal ini akan menimpa seorang Arsaka Laksana.
Alvaro yang mendengar hal itu pun menoleh bingung. “Maksud Mama?” tanyanya penasaran maksud kalimat Jihan barusan. Sebab setahu Alvaro, Arsaka itu yatim piatu. Tidak punya ayah, tidak punya ibu.
Wanita itu pun mengangkat wajahnya, lalu menatap netra sang anak yang bergerak tidak tenang. “Foto di dalam amplop yang kamu temukan semalam, yang kamu simpan di laci meja kamarmu itu, mereka adalah orang tua Arsaka.” Ternyata benar, bahwa Jihan mengetahui kalau dirinya lah yang menyimpan benda tersebut. Namun, karena masih menunggu kalimat lanjutan Jihan kepadanya, Alvaro memilih diam.
“Anak itu bahkan belum pernah tau bagaimana wajah kedua orangtuanya, Nak.” Usai Jihan berkata demikian, hati Alvaro seolah dihantam oleh ribuan ton batu raksasa. Rasa ibanya datang menerpa. Pula rasa bersalahnya yang kian membesar kala mengetahui betapa buruknya perlakuan semesta terhadap Arsaka Laksana.
Sebegitu peliknya kah takdir? Mengapa hidup tidak ada yang berjalan adil? Mengapa semua harus merasakan luka yang sedemikian rupa? Arsaka Laksana, dia hanya ada satu di dunia. Senyumannya, kehangatannya, kesabarannya, semuanya ada pada pemuda itu. Tapi mengapa pelik yang dia rasa seolah tanpa jeda datang menerpa?
“Ellio,” panggil Jihan lagi kepada anaknya. Alvaro pun mengedip. Kembali tersadar dari lamunannya tentang Arsaka yang begitu baik dan tulus. Pemuda yang mungkin telah ia sakiti hatinya itu, tolong jangan ambil dia, Tuhan. Alvaro memohon untuk kali ini saja. Jangan dulu engkau pertemukan anak itu dengan kedua orangtuanya. Masih ada begitu banyak hal yang ingin ia sampaikan pada Arsaka Laksana. Jangan buat dirinya menyesal seumur hidup. Alvaro sangat memohon, Tuhan.
“Tiga puluh persen harta Bessara adalah milik orang tua Arsaka Laksana.” Kalimat ini benar-benar mengguncang Alvaro. Dunianya berputar. Porosnya seolah hilang dalam pusaran pernyataan.
Maksudnya apa? Harta keluarga Bessara yang begitu banyak itu, lebih dari seperempat adalah milik orang tua Arsaka Laksana? Yang benar saja! Kalau memang begitu, artinya pemuda itu memiliki hak atas kepemilikan harta mendiang orang tuanya yang masih tertinggal pada keluarga Bessara! Arsaka Laksana adalah pewaris satu-satunya!
“Arsaka itu, anak yang sudah Mama cari belasan tahun lamanya. Dan tanpa disengaja, dua setengah tahun lalu malah Jeriko yang menemukan dia. Sudah besar, dan tumbuh dengan baik meski tanpa pernah merasakan kasih sayang dari orang tua kandungnya.” Jihan balik menggenggam tangan sang anak. Mungkin Alvaro sangat terkejut saat ini. Maka tak heran kalau getar pada mata anaknya itu semakin tidak terkendali. Jihan terlalu mendadak memberitahukan pada dirinya.
Informasi yang Alvaro cari, hal yang ingin ia ketahui, perlahan telah terjawab. Bahkan jawabannya ia dapat langsung dari sosok Jihan. Tak perlu lagi ia mengulik-uliknya dari Jeriko. Mama yang semalam katanya tak ingin memberitahukan semua informasi ini nyatanya malah berubah pikiran. Membuat Alvaro akhirnya tahu, siapa Arsaka Laksana yang sesungguhnya. Dia bukan orang miskin, dan bukan orang yang biasa saja. Arsaka itu pasti berasal dari keluarga penting dan berada, sampai membuat Mama mencari keberadaan pemuda itu sejak belasan tahun yang lalu.
“Var!” Tiba-tiba suara itu mengalihkan perhatian semua orang yang ada di sana. Pemuda yang baru saja datang ke sini kebetulan juga sedang berada di rumah sakit ini. Makanya ia bisa datang dengan cepat setelah Alvaro memberi tahu kondisi Arsaka di grup mereka.
Jeriko spontan melihat ke arah Jihan. Keberadaannya akan terkuak jikalau lama-lama berada di sini. Ia harus segera pergi. Tatang yang mengerti maksud tatapan Jeriko padanya pun segera berbisik memberi tahu Jihan. Ia ingatkan atasannya itu sebab harus segera beranjak dari tempat ini. Bahaya kalau nanti musuh mereka mengetahui Jihan nyatanya belum meninggal.
“Gimana keadaan Arsa?” Alvaro bahkan turut menghela napas lega kala Senan tidak mempedulikan siapa yang barusan berdiri, dan berjalan meninggalkan ruang tunggu ini. Tentu, Senan pasti tidak tahu bagaimana wajah ibu kandung Alvaro yang sesungguhnya. Pemuda ini hanya mengetahui kisah hidupnya saja. Bukan wajah Jihan.
“Pak?” Kini wajahnya menoleh pada Jeriko. Meminta jawaban yang tak kunjung Alvaro jawab. Namun Jeriko malah menggeleng. Belum ada yang tahu bagaimana keadaan lanjutan Arsaka. Dokter maupun perawat belum ada yang keluar memberitahu. Semua masih menunggu kabar dari dalam sana.
Senan pun menghela napasnya. Ia tidak menyangka kalau Arsaka masuk rumah sakit karena keracunan, sesuai perkiraan yang diberi tahu Alvaro belasan menit lalu di grup mereka. Mungkin teman-teman yang lain akan datang menyusul setelah ini.
“Var…,” panggil Senan pada Alvaro. “Ibu-ibu tadi siapa?” sambungnya bertanya.
“Kenapa?” sahut Alvaro setenang mungkin.
Senan menggeleng. “Nggak mungkin ibu pantinya Arsa, kan? Bajunya mahal begitu.” Dalam hati, Alvaro mulai resah. Senan tentu dapat melihat bahwa semua yang dipakai Jihan tadi tidaklah murah. Semua adalah barang branded nan mahal.
“Teman saya,” sahut Jeriko. Ia ikut menimbrung percakapan dua pemuda tersebut. Membantu Alvaro menjawab pertanyaan Senan.
“Oh ya?” jawab Senan dengan wajah penuh percaya. “Tapi kok wajahnya kayak familiar gitu ya, Pak? Kayak pernah saya lihat, tapi lupa dimana,” lanjut Senan mencoba mengingat-ingat.
“Lo liat di apartemen gue, Senan. Lo pasti pernah liat frame foto itu sebelum semuanya dibuang Jeffan. Makanya lo bisa bilang muka nyokap gue kayak familiar.” Begitu batin Alvaro menebak tepat. Senan tidak pernah melihat langsung bagaimana wajah ibunya. Kalaupun pernah, dia pasti lupa, bahwa sebelum kecelakaan maut itu, Jihan sering mengisi majalah bisnis dan layar kaca elektronik.
Ya, semoga Senan benar-benar tidak akan menyadarinya sampai waktu yang ditentukan. Begitu harap Alvaro.
“Varo!” satu suara lagi datang menyapa. Alvaro menoleh pada raga yang memanggilnya. Itu dia, Nuraga Aksara.
Aliansi Garuda Melegenda
Karya Rofenaa
© ebbyyliebe