Waroeng Pete, dan Secuil Kisah GHA-NAB

rofenaa
6 min readJun 17, 2023

--

Waroeng Pete, adalah sebuah restoran kelas menengah yang menjadi tempat favorite Nabila selama ini. Selain memang dekat dari rumah, tempat tersebut juga menyediakan makanan-makanan lokal yang pas dengan lidah kampung sang gadis. Harganya pun sangat ramah di kantong para ‘Kaum Mending’ seperti dirinya. Terlebih bagi manusia seperti Nabila yang saat ini berjuang menaikkan derajat diri dan keluarga. Sebab, yang menjadi permasalahan inti hidupnya selama beberapa tahun ke belakang juga tak jauh-jauh dari faktor ekonomi. Termasuk yang menjadi alasan mengapa dirinya bisa memutuskan untuk istirahat terlebih dulu dari hubungannya dengan Septian Dwi Cahyo, sang pemuda yang telah ia pacari selama hampir 5 tahun lamanya.

Gelombang suara di malam Minggu kali ini terdengar tumpang tindih. Selain musik yang sengaja distel oleh pihak restoran, tentu suara obrolan para pengunjung juga menjadi yang paling mendominasi di sini. Namun tidak dengan Nabila. Gadis itu hanya sibuk menggulir layar ponselnya sembari menyeruput Es Kopi Hitam yang ia pesan sendiri. Sebab pemuda yang lagi-lagi memberikan penawaran menarik kepada dirinya itu belum menampakkan batang hidung.

Ya, sosok Ghandi Desra, S.E., M.E itu memang bukan pertama kalinya memberikan informasi terkait pasar saham dan dunia bisnis. Bahkan beberapa waktu lalu, hari di mana Nabila baru saja memproklamasikan keputusannya pada Septian Dwi Cahyo, gadis itu langsung memulai misi tersembunyi yang ia jalani. Nabila Putri sedang mengincar saham dari perusahaan orang tua Septian dengan tujuan yang sebenarnya masih ia ragukan. Sebab dia ini masih belum paham sekali dengan dunia bisnis, bahkan untuk mulai berinvestasi saja gadis itu masih bingung. Ia awam dan tak miliki bekal barang sedikit. Oleh karena itu lah, yang menjadi sasaran sumber informasinya saat ini adalah Desra bersaudara. Najmi dan Ghandi.

“Nab, maaf ya agak telat.” Syukur, yang ditunggu-tunggu pun akhirnya datang. Sebab beberapa sekon lalu, Nabila sudah sempat berpikir bahwa jika dalam waktu 5 menit Ghandi tak kunjung datang, maka ia akan segera pulang. Peduli amat dengan janji temu mereka.

Mendapat raut sebal dan dengusan dari sang gadis, tentu membuat Ghandi semakin merasa bersalah. Karena ‘kan memang dia yang mengajak duluan, tapi malah telat duluan. “Sorry, Nab. Sumpah iya gue salah. Nggak bakalan ngeles. Tapi emang tadi sempet ada yang kecelakaan pas gue jalan ke sini. Makanya jadi macet.”

Karena malas menanggapi, jadilah Nabila hanya mengiayakan dan menyuruh pemuda tersebut duduk. Lelaki yang merupakan saudara dari sahabatnya itu memang duluan lahir ke dunia daripada dirinya. Mereka beda 3 tahun.

“Tapi dimaafin nggak, nih?” Kurang puas dengan reaksi Nabila yang sebelumnya, tentu membuat si pemburu cinta memberanikan diri untuk bertanya.

Memang manusia seperti Ghandi Desra tampaknya suka sekali menantang maut. Sudah tahu kalau perempuan yang ia taksir ini gampang emosi dan galak seperti induk ayam yang sedang mengeram, dirinya malah banyak tingkah. Belum lagi sebenarnya beliau ini merupakan tipe lelaki yang pantang menyerah dan nyerempet tidak tahu malu. Karena mau dibilang pemberani, rasanya agak sedikit diragukan. Karena konteks beraninya di sini adalah Ghandi yang tetap nekat mendekati Nabila semenjak gadis itu masih bersama Septian (atau yang lebih akrab dipanggil Asep).

Dengan memakai prinsip ‘sebelum janur kuning melengkung’, mungkin naksir pacar orang akan dianggap benar. Asalkan tidak ada indikasi ingin merebut dan mengambil salah satunya yang menjadi incaran. Seperti itu lah prinsip Ghandi. Terlebih untuk saat ini, ia hanya memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Sebab lebih kurangnya, ia pun tahu apa yang menjadi penyebab dan alasan terbesar Nabila sampai memutuskan untuk break dengan Septian.

“Nab, maaf ya?”

Jengah mendengar kalimat yang sama, Nabila pun berdecak sebal. “Ah minta maaf mulu lu kayak lagi lebaran aje!” Satu hal yang menjadi alasan terbesar Ghandi menaruh hati pada Nabila Putri, to the point.

Dia mungkin akan terkesan kasar dan brutal bagi siapa saja yang baru mengenal gadis itu. Tapi percayalah, semua tutur kata dan nada bicaranya … itu yang menjadi daya tarik. Entahlah, rasanya Nabila terlalu lucu meski nyatanya ia hanya diam saja. Belum lagi ketika ia bertingkah di luar nalar dan batas normal, selalu berhasil membuat orang-orang terdekatnya terpingkal-pingkal.

Namun, di balik sifatnya yang terkesan humoris dan selalu menjadi happy virus bagi orang sekitar, Nabila ini selalu menyimpan semuanya sendirian. Bukan, bukan karena ia tak miliki tempat untuk menumpahkan segala resah, ia hanya merasa bahwa dirinya pasti mampu menanggung semua beban hidupnya sendirian. Tak ada yang perlu ia takuti, toh, pada akhirnya semua akan berlalu meskipun harus terseok-seok terlebih dahulu. Lagi pula, untuk apa dirinya harus merepotkan orang lain dengan masalah yang ia punya? Tiap-tiap manusia juga pasti punya masalah, bukan? Lantas daripada menjadi beban pikiran pula untuk orang lain, mending masalahnya ia keep sendiri. Biarlah orang terdekatnya nanti tahu sendiri tanpa harus diberi tahu oleh lisannya sendiri.

Ghandi pun melemparkan tawa renyah. Ia sudah kebal dengan semua perilaku perempuan di hadapannya ini. Tidak peduli siapa yang terlebih dahulu kenal dengan Nabila, entah Septian atau dirinya, yang penting Ghandi Desra sudah sangat sering dipertemukan dengan sahabat baik adiknya ini. Mungkin pertemuan pertama mereka terkesan sangat buruk dan saat itu sempat langsung hendak adu jotos dengan Septian, tapi setidaknya akhir-akhir ini ia miliki waktu kebersamaan dengan Nabila, dalam kondisi yang jauh lebih baik.

“Nyengir lagi lu!” semprot sang gadis. “Buru sini infonya!”

“Buset, Nab. Kasih gue waktu buat pesen dulu kali, ah! Buru-buru banget lo kayak lagi nahan berak.”

Sialan. Mereka ini kalau disatukan memang akan saling serang dengan kata-kata yang rasanya sedikit frontal. Beda sekali dengan Septian yang selalu meresponnya dengan baik dan sabar. “Ya udah sono pesen. Bukannya dari tadi kek,” sahut si gadis Betawi asli.

Selang beberapa waktu, setelah membiarkan Ghandi memesan makanan dan minumannya, Nabila pun siap-siap pasang telinga. Ia juga sudah sedikit santai sebab disogok Ghandi dengan pesanan Nasi Goreng Pete Khas yang merupakan favorite gadis itu. Kebetulan dirinya memang sengaja tidak memesan makanan karena merasa belum lapar. Tapi setelah menunggu Ghandi yang cukup lama dan emosinya terkuras, jadilah rasa lapar itu muncul. Pun, siapa pula yang tidak akan tergiur dengan makanan gratis kesukaan walaupun murah meriah? Apalagi seperti manusia seperti Nabila. Galak-galak begini, dia ini gampan dibujuk sebenarnya. Kecuali kalau sudah merasa sangat tersinggung dan direndahkan.

Jadilah, percakapan mereka pun berjalan dengan mulus. Ghandi yang berprofesi sebagai Tax Consultant tentu menghadapi seluruh pertanyaan Nabila dengan sabar. Perempuan ini layaknya seperti klien pada umumnya. Tapi bedanya, Nabila berkonsultasi membahas dunia bisnis dan saham, bukan perpajakan. Plus, gadis itu mendapat seluruh pencerahan dari si ahli tanpa harus membayar jasa profesi Ghandi. Alias gratis tanpa dipungut biaya sepeserpun.

Mulai dari mengenalkan ilmu-ilmu dasar tentang saham, memberitahu deretan perusahaan securitas dengan biaya rendah hingga tertinggi, analisis saham, target investasi, sampai dengan cara main saham yang konsisten, pun, Ghandi jelaskan secara rinci. Tak lupa, ia juga membeberkan segala informasi yang pemuda itu tahu tentang PT. Cahyo Purnomo Sentosa Tbk. Perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi itu memang sangat besar dan terkenal. Pun milik ayah kandung seorang Septian Dwi Cahyo.

Tak terasa, usai menghabiskan waktu hampir 2 jam lamanya, mereka pun akhirnya memtuskan untuk mengakhiri obrolan. Nanti akan disambung lagi kapan-kapan.

“Kalau gitu, sebelum gue anter lo pulang, night ride-nya jadi, kan? Gue udah effort bawain helm nih buat lo.” Ghandi yang menagih rencana awalnya itu memukul helm bogo berwarna pink fanta yang terlihat nyentrik di tangannya. Karena sebagai ucapan terima kasih dan balas budinya atas jasa Ghandi, Nabila pun tentu menuruti.

“Iye-iye, jadi. Bawel bener lu,” sahutnya sembari menarik benda pelindung kepala tersebut. Mendengar hal itu, tentu membuat Ghandi kian semangat dan sumringah. Ia keluarkan motornya dari area parkir sembari bersuara riang tanda selebrasi.

Setelah rasanya Nabila telah berhasil menghuni jok motor Vespa dengan nyaman, Ghandi pun lekas menyalakan mesin motor. “Pegangan, Nab. Tar lo kejengkang kan jadi berabe urusan.”

Mendengarnya, Nabila tentu terkekeh. Namun bukannya berpegangan dengan benar susai harapan Ghandi, gadis itu malah menyapirkan tangan kanannya di pundak sang pengendara. Tak lupa, rematan pada ­halfzip yang dikenakan Ghandi pun ia pererat.

“Buset, Nab, Nab. Lo kata gue ojol apa, ya?” protesnya.

“Ah elah, kaga usah banyak ngemeng dah. Buru jalan!”

Continued

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet