Wajah-wajah sembab dibelai lembut oleh angin. Gundukan tanah merah yang bertabur macam bunga penuh warna, turut menghiasi rumah terakhir sang Jagoan yang resmi gugur di hari dirgahayunya.
Keramat. Sakral.
10 November adalah tanggal yang seumur hidup akan menjadi tanggal yang semakin tak ‘kan terlupakan oleh pasangan Najmi dan Adibya.
Sesak pada dada jangan ditanya. Najmi Desra bahkan kembali berakhir di rumah sakit karena harus mendapatkan perawatan intensif. Ibu dari raga kecil yang berpulang itu sungguh tak menyangka bahwa anak sematawayangnya benar-benar secepat ini bersatu dengan bumi. Raung dan gaung kesedihan menjadi satu. Ketakutannya membentengi seluruh diri, seolah tak beri Najmi kesempatan untuk tenang barang sejenak.
“Najmi, jangan kayak gini … Abbas pasti nggak suka.” Lantas satu kalimat itu berhasil memancing amarah tiap-tiap insan.
Ghandi siap menghantam mulut busuk itu. Tapi geraknya lekas ditahan oleh sosok Ratna. Sementara, Nabila yang baru tahu kabar sesakit ini sungguh tak bisa menahan tangisnya melihat Najmi hancur lebur. Raga yang tengah berbadan dua itu hanya bisa tesedu di pelukan sang suami.
Maka, pada detik berikutnya, Najmi yang dikuasai seluruh emosi itu menatap nyalang pada si penutur. “Jangan sok tau, Mbak Risa! Abbas pasti ngerti kenapa aku bisa sesedih ini!” Dia Arrisa, yang sempatkan waktu menerbangkan diri dari Manado ke pulau Jawa. Tujuannya ke rumah duka, untuk turut berbela sungkawa.
“Abbas anakku, Mbak Risa! Aku yang lahirin Abbas! Aku yang menyusui! Aku yang besarin dia! Aku guru pertamanya! Aku yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan Abbas! Terus kenapa aku seolah-olah nggak berhak buat bersedih?!! Kenapa?!!”
“Hatiku hancur, Mbak Risa! Jagoanku pergi buat selamanya! Jagoanku sama Mas Adib harus bersatu sama tanah secepat ini juga karena keluarga Mbak!”
“Abbas meninggal karena Eden! Abbas ninggalin aku gara-gara anaknya dia!”
Tak ada yang pernah tahu bahwa Najmi akan semeledak ini hanya karena menganggapi satu kalimat. Bahkan saat perempuan itu berani menunjuk kidal sosok Arsyi yang menatap penuh rasa bersalah, semua terdiam. Hanya Adibya yang berani membawa pelan raga lemah istrinya untuk ditenangkan. Didekap erat demi redamkan amarah dan rasa kecewa terhadap takdir yang mereka hadapi.
Surai kusut mereka lantas kembali diterpa angin pilu. Yang rasanya kian menambah perih pada relung yang dilanda sesak.
“Dek, jangan teriak-teriak, ya? Nanti tenggerokannya sakit.” Adibya berbisik lembut. Lirih yang ia sembunyikan tak mau sampai terdengar di telinga istrinya.
Najmi menggeleng ribut. Sesekali ia pukul kepalanya sendiri demi mengusir sakit dan pusing yang sedari tadi mendera. “Kenapa ya, Mas, keluargamu jahat banget sama aku? Kenapa?” Memori masa lampau turut berputar. Kata-kata Arsyi pada dirinya belasan jam lalu masih terekam jelas dalam ingatan.
Sementara, Adibya yang paham seberapa sakitnya Najmi Desra karena tindak-tanduk keluarga Lofarsa tentu hanya menggigit bibir. Ia pejamkan matanya seerat mungkin agar tidak turut menatap bengis pada suadara-saudaranya. Ia tak pernah mau durhaka, tapi luka yang istrinya terima sungguh luar biasa.
“Sekarang kita pulang, ya? Kamu masih sakit. Kamu pasti capek, Najmi.” Namun bukannya menuruti, Najmi malah memberontak. Ia tak mau meninggalkan Abbas sendirian di pemakaman yang sepi ini.
Rengkuh Adibya terlepas. Najmi meraung dan kembali merentangkan tangannya demi mendekap gunduka tanah merah dengan nisan bernamakan Abbas Tenov Lofarsa. Nisan yang juga menuliskan tanggal kembar tiada ubah. Hanya tahun saja yang berganti di papan tersebut.
Lantas, tak ada cara lain. Pemakaman Abbas yang dilakukan secara tertutup dan hanya dihadari pihak keluarga beserta kerabat dekat itu harus segera dibubarkan. Najmi juga harus ikut pulang bersama mereka. Sebab sesi doa bersama telah usai dilaksanakan belasan menit yang lalu. Harap dan pinta terbaik pada Yang Mahakuasa telah mereka langitkan untuk Abbas tercinta.
“Najmi, udah, ya? Yang ada Abbas bakalan sedih kalau tau kamu hancur dan sesedih ini.” Yakinlah, Adibya terpaksa berucap seperti ini karena ia juga sudah bingung harus membujuk istrinya dengan cara yang bagaimana.
Najmi mendorong pundak suaminya penuh kecewa. “Sama aja! Kamu sama aja kayak keluargamu, Mas Adib! Kamu nggak ngerti!”
Adibya hancur. Hatinya dihancurkan hingga berkeping-keping hanya karena mendengar ucapan istrinya yang demikian.
Kurang mengerti yang bagaimana lagi dirinya ini? Bahkan ia sudah merelakan gelar Yang Paling Berduka di antara mereka kepada Najmi Desra. Lantas mau bersikap yang bagiamana lagi Adibya?
“Minggir lo!” Ghandi yang sudah muak lantas mendorong Adibya agar menjauh dari raga adiknya. Lalu ia tarik paksa Najmi Desra untuk lekas berdiri dengan tegap.
“Nggak usah kasar bisa nggak sih?!” Aini membantu Adibya untuk berdiri. Adiknya yang tadi berjongkok di samping Najmi itu memang sempat tersimpuh di atas tanah basah akibat dorongan Ghandi. Namun lelaki itu mana peduli. Bahkan dilirk saja tidak wanita tersebut.
Ia ingat sekali bagaimana dokter tersebut berperilaku pada adiknya di tanggal yang sama. Ia tahu betul bagaimana sakitnya tamparan yang Aini layangkan pada Najmi kala detik-detik tragedi NS66 hampir menjadi kisah penutup usia Adibya Lofarsa.
10 November, baik kini ataupun sepuluh tahun lalu, tetap sama-sama penuh duka, sakit hati dan kecewa.
Maka Najmi kian histeris. Ia tak mau meninggalkan pelataran pemakaman. Dadanya pun turut semakin sesak kala mengingat seluruh kalimat-kalimat penghakiman yang silih berganti mendera. Dadanya sakit, napasnya sulit teratur. Bahkan untuk menatap dengan jelas pun kini ia tak lagi bisa. Najmi Desra benar-benar sudah berada pada titik terlemahnya.
Ia, kembali terjerumus. Ke dalam lubang lara yang lukanya kian dalam dan kelam.
Ia, kembali berduka. Dengan rundung ketakutan yang jauh lebih besar dari sebelum-sebelumnya.
“Emang nggak ada becusnya.” Ghandi menghardik tanpa subjek. Namun kalimat tersebut benar-benar memantik Adibya untuk lekas mengambil alih raga Najmi.
“Istri saya, biar saya yang urus.” Datar, tapi sorot matanya memancarkan aura yang sama sekali tak ingin dibantah. Ini perintah.
Maka ringkihnya Najmi Desra yang perlahan hilang kesadaran karena kesulitan bernapas, membuat Adibya harus berlari menuju ambulans yang telah siap siaga. Ia bawa secepat mungkin istrinya ini agar mendapat pertolongan pertama.
Gila. Semuanya tampak tak waras. Emosi dan amarah benar-benar merundung dua kelarga tersebut. Ada peperangan yang telah pecah di antara Desra dan Lofarsa. Masing-masingnya telah siap membalaskan segala yang terjadi secara setimpal.
“Najmi, maafin saya.” Adibya bergetar. Tangannya menggenggam erat jemari dingin Najmi yang juga tampak pucat.
“Jangan ikut tinggalin Mas, Dek. Jangan …”
Tak ada yang tahu, bahwa lara yang Adibya punya, bahkan tak setara dengan sedih yang mereka punya. Termasuk milik Najmi Desra.
Sakitnya Adibya Lofarsa sungguh luar biasa. Menahan segala yang ia rasa demi orang terkasih agar tetap baik-baik saja, dan bertumpu kepada dirinya yang juga butuh tempat bersandar, sungguhlah menyakitkan. Namun ia harus apa? Lelaki itu mau tak mau harus rela menerima. Berkorban untuk perempuannya tidak akan pernah menjadi masalah meski harus sakit-sakitan.
Few Hours Ago …
Eden yang semalam suntuk tak kunjung mengantuk itu dikunjungi sosok Ghandi. Ia membawa berita pilu yang memicu kepanikan dan rasa bersalah pada diri Eden.
“Ponakan gue meninggal gara-gara lo.” Maka hanya dengan satu kalimat, Ghandi berhasil luruhkan pertahanan si remaja. Ia turut meraung mengetahui fakta.
“Siapa pun yang lindungin lo dari jerat hukuman, gue jamin bakal nyesel. Termasuk orang tua lo, Eden. Gue nggak bakal segan-segan bikin lo gila karena udah goblok sampai ngilangin nyawa anak orang.”
Ghandi kian merusak mental remaja itu. Sangat tak patut untuk ditiru, tapi ini lah sisi kelam sulungnya Desra. Ia bisa gelap mata hanya karena waras adiknya diusik sedemikian ini.
“Semua yang terjadi sekarang itu salah lo, Eden Rakabima.” Ghandi tak memberi ampun. Ia memberi sakit yang tak terobati pada remaja ini seperti apa yang adiknya rasa. Ia harus berhasil membuat keturunan Arsyi Lofarsa ini di ambang waras.
“Kalau pun Abbas hidup, dia pasti benci banget sama lo yang udah bikin dia kehilangan dua kaki. Dia nggak bakalan maafin lo, Eden. Bahkan Najmi sama Adib pun sekarang nggak bakal sudi liat muka lo. Lo nggak bakalan pernah ngerasain rasanya lega karena dimaafkan. Gue jamin itu semua bakal nyiksa diri lo selama di penjara.”
Eden menangis ketakutan. Ia meraung hebat di tengah malam. Maka petugas pun dengan lekas menarik kembali remaja tersebut. “Nikmatin hukuman lo.”
Sesi penghakiman terpaksa Ghandi tutup. Ia akhiri pertemuan yang bertujuan tak kalah jahat ini. Karena, mau dibilang tak sengaja pun, bagi Ghandi tetap Eden lah yang sudah menghilangkan nyawa ponakannya.
Eden sumber duka. Eden sumber lara.
Eden Rakabima, palu penghancur dua keluarga.
Das Sein by ebbyyliebe